Friday, April 11, 2008

Setiap Orang itu Kaya

“Sedikit sekali kalian bersyukur”, demikian Allah menegaskan dari ayat-Nya. (QS. Al-Mulk, 23).

Inilah salah kaprah yang paling banyak terjadi dalam masyarakat kita. Kekayaan selalu diukur dari materi. Seseorang baru dianggap kaya, misalnya, kalau sudah punya beberapa mobil merci terbaru, sekian rumah mewah, uang simpanan milyaran rupiah dan seterusnya. Jarang sekali yang menyadari bahwa sejak baru lahir sekalipun, seseorang sudah sangat kaya.

Ia diberi jantung misalnya. Jantung ini terus bekerja memompa darah untuk didistribusikan ke seluruh organ tubuh sepanjang usianya. Bahkan ketika ia tidur sekalipun, jantung terus bekerja. Ia terus berdetak tanpa henti 100 ribu kali dan memompa 4 ribu galon per hari selama 60 tahun, 70 tahun atau 80 tahun sepanjang usia pemiliknya. Tidak ada satu mesin buatan manusia yang bisa berkerja non stop dalam waktu lama seperti ini, secanggih apapun ia. Kalau terus dipaksa bekerja, ia pasti aus dan bisa jadi meledak. Kekayaan diri yang bernama jantung ini, tidak bisa dihargai materi berapapun jumlahnya.

Ia diberi pembuluh darah yang menjadi pipa penyalur makanan dalam jaringan tubuh. Sebuah jaringan yang sangat rumit. Jika diulur, pembuluh darah seseorang bisa jadi sepanjang 100 kilo meter. Ia diberi mata yang bekerja sangat teliti, menangkap warna yang indah, obyek tiga dimensi, menikmati indahnya matahari tenggelam yang beranjak sujud kepada Tuhannya. Ia diberi telinga, sebuah sistem pendengaran yang bahkan bisa menangkap segala suara; suara yang melenakan atau mengerikan. Ia diberi otak yang kalau kecanggihan dan kemampuan kerjanya bisa diterjemahkan menjadi mesin komputer, maka harganya mencapai 100 triliyun rupiah!

Bukankah, dengan demikian, setiap orang sebenarnya amat sangat kaya? Tetapi mengapa jauh lebih banyak orang yang merasa kurang ketimbang merasa cukup, apalagi berlebih?

Itulah manusia. Dalam urusan dunia, mereka selalu melihat ke atas. Akibatnya, mereka selalu merasa kurang, kurang dan kurang! Orang macam ini tidak akan pernah terpuaskan kecuali jika ia sudah tiba saatnya dimasukkan ke liang kubur. Itulah peringatan al-Qur’an, “kalian dilenakan dengan perlombaan memperbanyak kekayaan dunia, sampai tiba saatnya kalian harus masuk liang kubur”. (QS. At-Takatsur, 1-2).

Apakah kita mesti menunggu masuk kuburan untuk bisa bersyukur? Tentu tidak bukan? Sebab ketika seseorang sudah saatnya masuk kubur, ketika kematian datang menjemputnya, ia sudah tidak lagi bisa berbuat apa-apa, tidak ada lagi waktu untuk bersyukur. Oleh karena itu, sebelum waktunya habis, mestinya kita segera membalik paradigma bahwa apapun yang sudah Allah berikan kepada kita, itu sudah jauh lebih dari cukup untuk membuat kita senantiasa berterima kasih kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya.

Kesadaran yang paling baik adalah yang lahir dari dalam hati, bersemi, dirawat, berkembang besar sampai memberikan buah dalam kehidupan kita sehari-hari. Semakin seseorang tahu hakikat dirinya, semakin pintar ia bersyukur kepada Penciptanya.

No comments: