Saturday, April 12, 2008

Nabi, Dokter Hati

Dalam kitab al-Munqidz min ad-Dlalal, Imam al-Gazali mengumpamakan Nabi dengan dokter.

Seseorang yang mengidap penyakit badan biasanya berobat ke dokter. Dokter kemudian akan mendiagnosa penyakitnya, menyuntikanya bila perlu, memberinya obat dan menjelaskan bagaimana cara meminum obat dan apakah ia perlu kembali lagi untuk memeriksakan penyakitnya.

Sang pasien ini biasanya punya kepercayaan tinggi kepada sang dokter. Ia yakin bahwa sang dokter menginginkan kesembuhannya. Ia tidak akan protes terhadap keputusan dan tindakan sang dokter. Ia akan mengikuti petunjuk sang dokter tentang misalnya bagaimana obat harus diminum, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berobat dan seterusnya.

Apa yang tidak masuk di logika sederhana pasien tidak boleh dijadikan landasan untuk membantah apalagi membatalkan tindakan sang dokter. Misalnya, “la wong yang sakit kepala saya, kok yang disuntik pantat saya”.

Ilmu pengobatan memiliki logikanya sendiri. Khasiat-khasiat obat tidak bisa dinalar begitu saja. Ia dihasilkan dari percobaan panjang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dulunya di zaman kemajuan peradaban Yunani, ia bersifat tertutup bagi kalangan tertentu sebelumnya akhir terbuka aksesnya bagi siapa saja yang mampu mempelajarinya. Cara terbaik mengetahuinya adalah dengan langsung mengalaminya.

Demikianlah pula halnya dengan perkara kenabian atau kerasulan. Nabi atau Rasul adalah manusia pilihan Allah SWT yang diutus untuk menyembuhkan penyakit manusia; semua manusia, untuk kasus Rasul Pamungkas, Muhammad SAW.

Para rasul membawa resep penyembuhan penyakit hati dan badan manusia. Mereka membawa ibadah shalat, puasa, haji dan lain-lain. Mereka membawa aturan-aturan untuk menata kehidupan umat manusia.

Mereka sangat mencintai umatnya. Mereka sangat menginginkan kesembuhan, kebahagiaan umatnya dunia-akhirat. Mereka tidak sekedar memberi resep, tetapi terlebih dahulu mempraktekkan resep-resep tersebut.

Jika manusia yang sakit badannya, percaya kepada dokter, tidakkah lebih utama bagi mereka yang kurang sehat hatinya untuk percaya kepada para Rasul, utusan Allah itu?

Jika mereka tidak memprotes dokter karena resep yang diberikannya, maka seharusnya mereka tidak membantah Rasulullah tentang segala apa yang dibawanya. Insya Allah, kalau semua manusia mengikuti analogi ini, maka mereka akan mengahadap Allah dengan hati yang bersih. “Pada hari ketika harta dan anak tidak lagi berguna, kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat”. (QS. As-Syuaraa, 88-89).

No comments: