Monday, April 14, 2008

Dua Jenis Ilmu

Dalam sebuah ayat al-Qur’an, Rasulullah, Muhammad SAW diperintah oleh Allah SWT untuk berdoa meminta tambahan ilmu. “Katakanlah Wahai Muhammad, ‘ya Tuhanku tambahkanlah ilmu untukku!’”. (QS. Taha, 114).

Dalam ayat ini digambarkan bagaimana Rasulullah, Muhammad SAW, terburu-buru membaca ayat yang dibawa oleh Malaikat Jibril karena khawatir lupa, padahal ayat tersebut belum selesai disampaikan oleh Jibril Alaihissalam. Lantas Allah menggaransi, “jangan buru-buru membaca al-Qur’an sebelum ia selesai diwahyukan kepadamu. Katakan saja, “ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu untukku’”.

Ada dua gerak di sini: dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Sesuai logika normal manusia, Rasulullah sangat serius berusaha menangkap dan menguasai ilmu sedang diberikan oleh Allah. Namun lebih dari itu, Allah berkehendak untuk mematrikan ilmu itu di hati utusan-Nya. Maka sang Rasul diperintahkan untuk berdoa untuk diberikan tambahan ilmu.

Ilmu dari bahwa ke atas itu disebut ilmu muktasab, ilmu yang diperolah dari kerja keras manusia. Sedangkan ilmu dari atas ke bawah itu disebut ilmu ladunni, ilmu yang diperoleh karena anugerah Allah kepada hamba-Nya yang saleh. “Dan Kami memberinya ilmu dari sisi Kami”. (QS. Al-Kahfi, 65)

Di bagian akhir Surat al-Kahfi, ada satu episode dramatis bagaimana kedua jenis ilmu ini bertemu. Nabi Musa yang memiliki ilmu muktasab disuruh belajar kepada seorang hamba Allah yang saleh yang memiliki ilmu ladunni. Hamba saleh itu mengatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sabar mengikutinya. Tetapi karena Nabi Musa bersikeras, ia akhirnya mempersyaratkan agar Nabi Musa tidak bertanya selama proses belajar. Nabi Musa pun mengiyakan syarat tersebut. Kini, Nabi Musa adalah murid dan hamba saleh itu menjadi guru.

Pelajaran pertama. Dalam perjalanan, mereka menemukan perahu. Perahu itu kemudian dibolong-bolongi oleh sang guru. Nabi Musa tidak sabar untuk tidak bertanya. “Guru, kenapa engkau membolongi perahu tersebut. Bukankah pemiliknya nanti bisa tenggelam jika menumpanginya? Engkau telah melakukan perbuatan munkar”. “tadi sudah saya bilang, ‘engkau tidak akan sabar mengikuti saya!’”.

Nabi Musa meminta maaf dan meminta diizinkan untuk melanjutkan belajar. Mereka pun lantas melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian bertemu dengan seorang anak muda. Tanpa basa-basi, sang guru membunuh anak muda itu. Nabi Musa tidak bisa diam. “Kenapa engkau membunuh orang tidak berdosa yang tidak berhak untuk dibunuh? Engkau betul-betul telah berbuat mungkar!”. “Tuh kan, engkau tidak bakal sabar!”, kata sang guru. “Kalau sekali lagi engkau bertanya, kita berpisah saja”.

Mereka pun melanjutkan perjalanan sampai mereka tiba di sebuah kampung. Penduduk kampung itu tidak mau menjamu mereka. Guru dan murid ini pun kemudian menemukan sebuah rumah yang hendak roboh. Sang guru dengan sigap memperbaiki rumah itu sampai selesai. Nabi Musa kembali tergelitik untuk bertanya, “kenapa engkau tidak meminta ongkos memperbaiki rumah ini?”.

Kejadian-kejadian aneh ini pun kemudian dijelaskan oleh sang guru. Sang guru membolongi perahu agar tidak diambil oleh raja kejam yang sedang beroperasi mengambi paksa perahu-perahu yang ditemukannya. Sedangkan anak muda itu dibunuhnya karena kedua orang tuanya adalah orang-orang baik. Kalau anak itu dibiarkan terus hidup, ia akan berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya. Sementara rumah yang hendak roboh itu adalah kepunyaan anak yatim yang ditinggali harta oleh orang tuanya di rumah itu. Sang guru ingin agar anak-anak yatim itu kembali ke rumah dan mendapatkan harta peninggalan orang tuanya. “Aku tidak melakukan semua itu karena kemauanku sendiri”, lanjut sang guru.

Ia telah mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT. Ia mengetahui apa yang belum terjadi.

No comments: