Friday, April 18, 2008

Tiga Macam Hati

Perhatikan hatimu, karena perbuatanmu tergantung kondisi hatimu! Rasulullah mengingatkan kalau hati seseorang itu baik, maka seluruh perbuatannya akan baik, tetapi kalau ia rusak, maka seluruh perbuatannya akan menjadi rusak.

Dalam ayat 52-54 Surat al-Hajj, Allah SWT berfirman tentang tiga macam hati manusia: Hati yang sehat, hati yang mati dan hati yang sakit.

Hati yang sehat adalah hati yang bersih dari segala macam penyakit. Ia tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT, bukan kepada keinginan dirinya sendiri. Perbuatan hati dan perbuatan fisiknya dilakukannya semata karena Allah SWT. Kalau ia harus marah, maka ia marah karena Allah menyuruhnya. Kalau ia mencitai, maka ia mencintai karena Allah. Hawa nafsu tidak punya kuasa terhadap orang macam ini. Setan tidak bisa mendiktenya, karena ia telah benar-benar menjadi hamba Allah, bukan hamba hawa nafsunya apalagi hamba setan. Allah SWT berfirman, “sesungguhnya kepada hamba-hamba-Ku, engkau (setan) tidak memiliki kekuasaan”. (QS. Al-Hajr, 42).

Sementara itu, hati yang mati adalah hati yang keras bagi batu yang tidak menerima rembesan air. Cahaya hikmah tidak digubris oleh hati macam ini. Ia memperturutkan segala keinginan hawa nafsu, tanpa kekangan, tanpa hambatan, tidak peduli halal atau haram. Semuanya diterabas. Ia tidak peduli apakah segala perbuatannya mengundang murka Tuhannya atau tidak. Perbuatan hati dan fisiknya betul-betul dikendalikan oleh hawa nafsunya: cinta dan bencinya karena hawa nafsunya, melakukan atau tidak melakukan sesuatu juga karena hawa nafsunya. Ia lebih mementingkan kepuasan hawa nafsunya, ketimbang ridla Allah SWT. Berteman dengan orang semacam ini adalah kecelakaan, karena ia adalah budak setan atau bahkan setan itu sendiri!

Sedangkan hati yang sakit menempati posisi antara dua macam hati di atas. Penyakitnya bisa parah, bisa juga ringan. Jika penyakitnya ringan, ia lebih dekat ke hati yang sehat. Tetapi jika penyakitnya parah, ia lebih dekat ke hati yang mati. Masih ada cahaya iman dalam hati yang sakit ini. Kadang-kadang ia mengikuti kehendak Tuhannya, namun kadang-kadang ia mengingkari dan menjauh dari ridla Allah SWT. Hati macam ini masih dihuni, misalnya oleh penyakit dengki, sombong, ingkar nikmat, dll. Orang yang punya hati macam ini mengaku beriman, tetapi masih korupsi, misalnya. Ada harapan sehat bagi hati macam ini, asal ia terus diobati; dibersihkan dari sifat-sifat yang tecela dan diisi dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan demikian, ia bisa terus menolak bujukan berbuat maksiat dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik.

Tentu saja kita berharap tidak memiliki hati yang mati. Apalah gunanya badan hidup dan bergelimang kelezatan tetapi hati mati dan dimurkai Allah SWT. Jika memang hati kita masih sakit, tentu saja harus kita lihat dulu seberapa parah penyakit yang kita derita. Bisikannya bisa kita dengar, apakah ia lebih sering membisikan kebaikan atau keburukan. Tentu saja kita berharap memiliki hati yang sehat. Inilah harta paling berharga yang bisa kita bawa sebagai modal keselematan kita kelak di akhirat. Allah SWT berfirman: “pada hari ketika tidak lagi berguna harta benda dan anak-anak kecuali dia yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat”. (QS. As-Syuara’, 88-89).

Thursday, April 17, 2008

Pendidikan Cara Islam

“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Belajar di sesudah besar bagai mengukir di atas air”, pepatah yang sering dirujuk untuk anjuran belajar sejak dini.

Islam memulai jauh lebih awal. Salah satu dari lima tujuan pokok syariat Islam adalah menjaga keturunan (hifdz an-nasl). Menjaga keturunan ini sudah dimulai dari sejak memilih pasangan hidup. Rasulullah SAW bersabda, “pilih-pilihlah pada siapa kalian akan menebar benih kalian”. Bahkan lebih konkrit lagi, Rasulullah SAW mematok bahwa pertimbangan utama dalam memilih pasangan hidup adalah faktor agamanya. “pilihlah yang bagus agamanya, maka engkau akan beruntung”, demikian sabda Rasulullah SAW.

Ajaran ini terus berlanjut pada bagaimana etika berhubungan intim suami-istri, anjuran-anjuran bagi istri yang sedang hamil, apa yang harus dilakukan ketika anak dilahirkan, aturan tentang menyusui dan memelihara anak sampai dengan bagaimana anak harus dididik fisiknya, mentalnya, akal dan spiritnya. Setiap tahap, dimulai dari langkah pertama, terus dikawal demi lahirnya generasi yang terdidik fisik, mental, akal dan spiritnya. Itulah horizon dari menjaga keturunan yang dimaksudkan dalam pokok-pokok tujuan syariat Islam.

Inilah pendidikan yang holistik itu; pendidikan yang membangun manusia seutuhnya. Bukan hanya membangun badan dan otaknya saja, tetapi juga jiwa dan spiritnya. Inilah pendidikan yang sangat memperhatikan graduasi; penyikapan yang tepat terhadap fase pertumbuhan anak, sampai anak menjadi dewasa dan siap untuk berproses memuaikan seluruh potensi baik, benar dan indah dalam hatinya.

Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam setiap manusia ada potensi benar, baik dan indah yang harus terus dirawat agar tidak lepas dari garis orbit yang telah digariskan Allah SWT. Potensialitas itu bernama fitrah. Yang pertama kali bertanggung jawab mengawal dan merawatnya adalah orang tua. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar anak-anaknya dijadikan, sebagaimana dirinya, oleh Allah SWT sebagai hamba yang berserah diri kepada-Nya. Menjelang kewafatannya, Nabi Ya’kub memastikan kepada anak-anak tentang apa yang akan mereka sembah sepeninggal ayahanda mereka. “Kami akan menyembah Tuhanmu, Tuhan para nenek moyang pendahulumu; Nabi Ibrahim, Ismail dan Ishaq; Tuhan yang esa dan kami berserah diri kepada-Nya”.

Inilah contoh orang-orang tua teladan yang sangat khawatir anak-anaknya lepas dari orbit kefitrahan-keislamannya.

Kalau setiap ayah-bunda Indonesia memulai tahap pendidikan anaknya sejak awal sebagaimana ditunjukkan di atas, merawat fitrah mereka agar tidak menyimpang, memperhatikan kesesuaian cara dan materi pendidikan dengan tahapan perkembangan badan, jiwa dan otak mereka, maka niscaya generasi-generasi masa depan bangsa ini bakal menjadi generasi utuh yang bisa membawa perubahan besar bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa Indonesia dalam segala aspeknya.

Ayolah para bapak dan para ibu, para bapak bangsa, penyelenggara negara, para pendidik dan tokoh-tokoh masyarakat, ayolah kita bangun generasi Indonesia yang utuh; manusia yang kuat fisiknya, cerdas jiwanya, cemerlang otaknya dan tajam spiritnya. Agar tidak terlalu lama bangsa ini terpuruh dan terseok-seok menyongsong masa depannya.

Wednesday, April 16, 2008

Allah Maha Pemurah

Kalau kita mau, mudah sekali kita mendapatkan rahmat Allah. Bayangkan saja, kalau kita berniat hendak berbuat baik, lalu kita tidak jadi melaksanakannya, maka kita sudah mendapatkan satu pahala sempurna. Sedangkan kalau kita berniat jelek dan kita tidak jadi melaksanakannya, kita mendapatkan satu pahala penuh juga, karena kita telah tidak jadi berbuat jelek.

Sementara itu, kalau kita berniat berbuat baik, lantas kita melaksanakannya, maka pahalanya berlipat-lipat dihitung mulai dari sepuluh, tujuh ratus sampai tidak terhingga. Sedangkan kalau kita berniat berbuat jelek, lalu kita melaksanakannya, maka ia hanya dihitung satu kejelekan. Kontras bukan, kondisinya dengan kebaikan?. Itulah kemahakasihan Allah; itulah kemahamurahan-Nya. Ini dituturkan dalam sebuah hadits yang kesahihan diakui oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (muttafaq alaih).

Ketika al-Qur’an bercerita tentang sedekah, ia menggambarkan seseorang yang bersedekah seolah menanam satu benih. Benih itu tumbuh menjadi pohon. Pohon itu berdahan tujuh. Setiap dahan mengeluarkan seratus buah. Dengan modal menanam sebiji buah, seseorang yang bersedekah akan memetik tujuh ratus buah. Luar biasa, bukan? Maka bersedekahlah seribu rupiah dengan ikhlas, anda akan mendapat balasan tujuh ratus ribu rupiah. Tentu semakin banyak sedekah anda, semakin banyak hasil yang akan ada petik.

Ini masih terhitung. Lantas bagaimana dengan pahala ibadah puasa Ramadlan yang digambarkan dalam sebuah hadits qudsi sebagai “puasa itu adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalas-Nya”, firman Allah. Bagaimana dengan pahala berbuat sabar yang dalam al-Qur’an disebutkan, “sesungguhnya orang-orang sabar akan mendapat balasan yang tidak bisa dihitung”? (QS. Az-Zumar, 10).

Itulah mungkin sebabnya, umat Nabi Muhammad SAW ini tidak perlu berkecil hati karena umur mereka yang relatif pendek dibandingkan dengan umat Nabi Nuh misalnya. Allah menebar banyak sekali bonus untuk umat Rasulullah, Muhammad SAW. Bonus-bonus itu ada yang berkaitan dengan waktu: sepertiga malam terakhir, hari jum’at, bulan Ramadlan, hari Arafah dll; ada yang berkaitan dengan tempat: masjidil Haram Mekah, Masjid Nabawi Madinah, Masjid al-Aqsha Palestina, tanah arafah, multazam di Ka’bah dll.

Kalau setiap orang menyadari sampai bisa menggambarkannya secara material balasan kebaikan dari Allah yang berlipat ganda ini, tentu tanpa diserukan atau diceramahi, hatinya akan tergerak untuk berbuat baik. Bukankah strategi macam ini yang sekarang dipakai oleh perusahaan telepon seluler, bank-bank atau perusahaan-perusahaan untuk menggait sebanyak mungkin pelanggan. Kenyataannya strategi ini menguntungkan mereka meskipun mereka harus membayar biaya mahal iklan produk-produk itu. Bukankah, televisi kita dijubeli oleh iklan-iklan macam ini?.

Kalau untuk urusan duniawi semata seolah tidak perlu dicermahi lagi, banyak orang berbondong-bondong mengikuti dikte-an iklan demi berharap bonus, hadiah dan seterusnya. Kenapa untuk sesuatu yang langgeng, tidak terbatas dan pertaruhan kebahagiaan atau penderitaan yang tidak alang kepalang, banyak orang enggan dan susah tergerak menyongsongnya?.

Entahlah. Di zaman kita ini, ternyata banyak sekali ukuran-ukuran yang sudah terbalik!

Tuesday, April 15, 2008

Kebenaran Pasti Menang

Bertahanlah dalam kebenaran, karena akhirnya kebenaran pasti menang. Itulah pesan yang hendak Allah sampaikan dalam firman-Nya: “Jika kebenaran datang, kebatilan pasti hancur”. (QS. Al-Israa, 81).

Kebenaran adalah bagaikan ular Nabi Musa yang memakan kebatilan ular-ular tukang sihir Fir’aun; sebuah lakon dramatis pertarungan kebenaran dan kebatilan yang dikisahkan dalam al-Qur’an. (QS. Al-A’raaf, 113-126). Panggung kehidupan ini memang tidak akan lepas dari lakon pertarungan kebenaran melawan kebatilan.

Bisa jadi dalam perjalanannya pemegang kebenaran diuji dengan kekalahan. Dunia seperti sempit; malam pekat gulita menyelimuti; jalan yang ditempuh dipenuhi duri. Al-Qur’an menggambarkan mereka berhadapan dengan situasi menekan yang sangat keterlaluan. Bumi yang mereka pijak seperti gempa besar karena kesulitan dan bahaya yang menyerang mereka.

Namun kalau mereka bertahan dalam kebenaran, semburat fajar subuh datang mengusir pekatnya malam; pertolongan Allah datang membawa kemenangan. “Ketika pertolongan Allah dan kemenangan datang, engkau melihat orang-orang masuk Agama Allah dengan berbondong-bondong”. (Q.S. an-Nashr, 1-3). Rasulullah dan para sahabatnya harus bertahan belasan tahun sebelum kebenaran yang mereka perjuangkan meraih kemenangan.

Maka carilah kebenaran itu. Rasul menunjukan dua cara untuk itu: bermusyawarah dan ber-istikharah. Musyawarah berarti usaha horizontal meminta pendapat sesama manusia untuk menemukan pilihan yang paling benar. Istikharah berarti memohon petunjuk Allah agar ditunjuki mana yang benar menurut-Nya.

Jika keduanya telah dilakukan, maka pertahankanlah pilihan tersebut, apapun kondisinya. Pemegang kebenaran harus bertahan, meskipun misalnya ia dikelilingi jauh lebih banyak orang-orang yang tidak benar. Ia tidak boleh ikut ke arus besar kebatilan meskipun ia menjadi minoritas dan terpinggirkan.

Sementara kalau seseorang memegang kebatilan, ia tidak boleh mempertahankannya, apapun alasannya. Orang yang bertahan dalam kebatilan adalah orang sombong, karena Nabi bersabda, “kesombongan adalah tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan orang lain”. Kesombongan mengundang kemurkaan Allah, karena yang berhak sombong hanya Allah SWT.

Dari siapapun datangnya kebenaran, ia harus kita terima. Dari siapapun datang kebatilan, ia harus kita tolak. Itulah inti doa yang sering kita panjatkan: “Ya Allah, tunjukkanlah kami yang benar itu benar dan karuniakanlah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami yang salah itu salah dan berilah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya”.

Semoga kita termasuk orang-orang yang memiliki kerendahatian untuk mengikuti kebenaran dari dari siapapun datangnya; memiliki semangat juang untuk mempertahankannya berapapun ongkos yang dimintanya.

Monday, April 14, 2008

Dua Jenis Ilmu

Dalam sebuah ayat al-Qur’an, Rasulullah, Muhammad SAW diperintah oleh Allah SWT untuk berdoa meminta tambahan ilmu. “Katakanlah Wahai Muhammad, ‘ya Tuhanku tambahkanlah ilmu untukku!’”. (QS. Taha, 114).

Dalam ayat ini digambarkan bagaimana Rasulullah, Muhammad SAW, terburu-buru membaca ayat yang dibawa oleh Malaikat Jibril karena khawatir lupa, padahal ayat tersebut belum selesai disampaikan oleh Jibril Alaihissalam. Lantas Allah menggaransi, “jangan buru-buru membaca al-Qur’an sebelum ia selesai diwahyukan kepadamu. Katakan saja, “ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu untukku’”.

Ada dua gerak di sini: dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Sesuai logika normal manusia, Rasulullah sangat serius berusaha menangkap dan menguasai ilmu sedang diberikan oleh Allah. Namun lebih dari itu, Allah berkehendak untuk mematrikan ilmu itu di hati utusan-Nya. Maka sang Rasul diperintahkan untuk berdoa untuk diberikan tambahan ilmu.

Ilmu dari bahwa ke atas itu disebut ilmu muktasab, ilmu yang diperolah dari kerja keras manusia. Sedangkan ilmu dari atas ke bawah itu disebut ilmu ladunni, ilmu yang diperoleh karena anugerah Allah kepada hamba-Nya yang saleh. “Dan Kami memberinya ilmu dari sisi Kami”. (QS. Al-Kahfi, 65)

Di bagian akhir Surat al-Kahfi, ada satu episode dramatis bagaimana kedua jenis ilmu ini bertemu. Nabi Musa yang memiliki ilmu muktasab disuruh belajar kepada seorang hamba Allah yang saleh yang memiliki ilmu ladunni. Hamba saleh itu mengatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sabar mengikutinya. Tetapi karena Nabi Musa bersikeras, ia akhirnya mempersyaratkan agar Nabi Musa tidak bertanya selama proses belajar. Nabi Musa pun mengiyakan syarat tersebut. Kini, Nabi Musa adalah murid dan hamba saleh itu menjadi guru.

Pelajaran pertama. Dalam perjalanan, mereka menemukan perahu. Perahu itu kemudian dibolong-bolongi oleh sang guru. Nabi Musa tidak sabar untuk tidak bertanya. “Guru, kenapa engkau membolongi perahu tersebut. Bukankah pemiliknya nanti bisa tenggelam jika menumpanginya? Engkau telah melakukan perbuatan munkar”. “tadi sudah saya bilang, ‘engkau tidak akan sabar mengikuti saya!’”.

Nabi Musa meminta maaf dan meminta diizinkan untuk melanjutkan belajar. Mereka pun lantas melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian bertemu dengan seorang anak muda. Tanpa basa-basi, sang guru membunuh anak muda itu. Nabi Musa tidak bisa diam. “Kenapa engkau membunuh orang tidak berdosa yang tidak berhak untuk dibunuh? Engkau betul-betul telah berbuat mungkar!”. “Tuh kan, engkau tidak bakal sabar!”, kata sang guru. “Kalau sekali lagi engkau bertanya, kita berpisah saja”.

Mereka pun melanjutkan perjalanan sampai mereka tiba di sebuah kampung. Penduduk kampung itu tidak mau menjamu mereka. Guru dan murid ini pun kemudian menemukan sebuah rumah yang hendak roboh. Sang guru dengan sigap memperbaiki rumah itu sampai selesai. Nabi Musa kembali tergelitik untuk bertanya, “kenapa engkau tidak meminta ongkos memperbaiki rumah ini?”.

Kejadian-kejadian aneh ini pun kemudian dijelaskan oleh sang guru. Sang guru membolongi perahu agar tidak diambil oleh raja kejam yang sedang beroperasi mengambi paksa perahu-perahu yang ditemukannya. Sedangkan anak muda itu dibunuhnya karena kedua orang tuanya adalah orang-orang baik. Kalau anak itu dibiarkan terus hidup, ia akan berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya. Sementara rumah yang hendak roboh itu adalah kepunyaan anak yatim yang ditinggali harta oleh orang tuanya di rumah itu. Sang guru ingin agar anak-anak yatim itu kembali ke rumah dan mendapatkan harta peninggalan orang tuanya. “Aku tidak melakukan semua itu karena kemauanku sendiri”, lanjut sang guru.

Ia telah mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT. Ia mengetahui apa yang belum terjadi.

Saturday, April 12, 2008

Nabi, Dokter Hati

Dalam kitab al-Munqidz min ad-Dlalal, Imam al-Gazali mengumpamakan Nabi dengan dokter.

Seseorang yang mengidap penyakit badan biasanya berobat ke dokter. Dokter kemudian akan mendiagnosa penyakitnya, menyuntikanya bila perlu, memberinya obat dan menjelaskan bagaimana cara meminum obat dan apakah ia perlu kembali lagi untuk memeriksakan penyakitnya.

Sang pasien ini biasanya punya kepercayaan tinggi kepada sang dokter. Ia yakin bahwa sang dokter menginginkan kesembuhannya. Ia tidak akan protes terhadap keputusan dan tindakan sang dokter. Ia akan mengikuti petunjuk sang dokter tentang misalnya bagaimana obat harus diminum, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berobat dan seterusnya.

Apa yang tidak masuk di logika sederhana pasien tidak boleh dijadikan landasan untuk membantah apalagi membatalkan tindakan sang dokter. Misalnya, “la wong yang sakit kepala saya, kok yang disuntik pantat saya”.

Ilmu pengobatan memiliki logikanya sendiri. Khasiat-khasiat obat tidak bisa dinalar begitu saja. Ia dihasilkan dari percobaan panjang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dulunya di zaman kemajuan peradaban Yunani, ia bersifat tertutup bagi kalangan tertentu sebelumnya akhir terbuka aksesnya bagi siapa saja yang mampu mempelajarinya. Cara terbaik mengetahuinya adalah dengan langsung mengalaminya.

Demikianlah pula halnya dengan perkara kenabian atau kerasulan. Nabi atau Rasul adalah manusia pilihan Allah SWT yang diutus untuk menyembuhkan penyakit manusia; semua manusia, untuk kasus Rasul Pamungkas, Muhammad SAW.

Para rasul membawa resep penyembuhan penyakit hati dan badan manusia. Mereka membawa ibadah shalat, puasa, haji dan lain-lain. Mereka membawa aturan-aturan untuk menata kehidupan umat manusia.

Mereka sangat mencintai umatnya. Mereka sangat menginginkan kesembuhan, kebahagiaan umatnya dunia-akhirat. Mereka tidak sekedar memberi resep, tetapi terlebih dahulu mempraktekkan resep-resep tersebut.

Jika manusia yang sakit badannya, percaya kepada dokter, tidakkah lebih utama bagi mereka yang kurang sehat hatinya untuk percaya kepada para Rasul, utusan Allah itu?

Jika mereka tidak memprotes dokter karena resep yang diberikannya, maka seharusnya mereka tidak membantah Rasulullah tentang segala apa yang dibawanya. Insya Allah, kalau semua manusia mengikuti analogi ini, maka mereka akan mengahadap Allah dengan hati yang bersih. “Pada hari ketika harta dan anak tidak lagi berguna, kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat”. (QS. As-Syuaraa, 88-89).

Sebelum Penyesalan Datang

Penyesalan tidak pernah datang di muka. Ia pasti muncul di belakang, ketika waktu tidak lagi menolong. Maka berbuatlah, sebelum penyesalan itu datang. Sebelum segalanya terlambat.

Fir’aun baru mau mengaku Allah sebagai Tuhan ketika nyawanya sudah di tenggorokan. Ketika ia timbul tenggelam di permukaan laut merah. “sekarang saya beriman bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil”. (QS. Yunus, 90). Tetapi segalanya terlambat. Penyesalan tidak lagi berguna.

Nabi Muhammad SAW menyebut lima kesempatan yang harus betul-betul dipergunakan sebaik-baiknya, sebelum mereka digantikan oleh lima kebalikannya: Muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum fakir, hidup sebelum mati dan sempat sebelum sempit.

Betapa banyak orang-orang muda yang menghabiskan masa mudanya untuk berhura-hura, memuaskan nafsunya, membunuh waktu dengan kegiatan yang tidak berguna, mereguk habis-habisan kenikmatan dunia, seolah-olah masa muda itu akan berlangsung selamanya. Tiba-tiba masa muda habis. Ketika tua, ketika tenaga tinggal sisa-sisa, banyak sekali perbuatan baik yang mestinya bisa dilakukan ketika muda, tidak lagi bisa dilakukan pada masa tua. Sesal tidak lagi berguna.

Betapa banyak orang sehat yang tidak menyadari bahwa sakit membayang-banyanginya. Mereka tidak menyadari betapa kesehatan adalah anugerah besar yang tidak seharusnya digunakan untuk perbuatan tidak berguna, apalagi kejahatan. Banyak orang sehat yang tidak menggunakan semaksimal mungkin nikmat kesehatannya untuk berbuat baik. Sampai ketika sakit mendera. Ketika ia tidak bisa lagi berpisah dengan tempat tidur. Ia tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Sesalpun tiba, “kenapa ketika aku sehat, aku tidak banyak berbuat baik?”. Sesal memang selalu datang di belakang.

Orang kaya juga begitu. Tidak banyak orang kaya yang rendah hati. Dengan setulus hati mengakui bahwa harta benda yang banyak itu hanyalah titipan Allah SWT untuk mengujinya apakah dengan diberi harta ia tetap menjadi hamba Allah yang benar atau berubah menjadi hamba harta. Apapun dibelinya untuk memenuhi nafsunya. Sampai ketika tiba saat Allah mengambil kembali titipan itu. Ketika ia jatuh miskin. Tidak lagi ia bisa bersedekah, menyumbang lembaga pendidikan, menyantuni fakir miskin, merawat masjid dan seterusnya. Ah... sesal tidak lagu ada gunanya.

Orang hidup yang berbuat tidak baik pasti lupa akan kematian. Kalau ia ingat bahwa kematian bisa datang kapan saja, tidak mesti menunggu masa tua, ia pasti tidak berbuat jahat. Ia pasti tidak mau ajalnya datang ketika ia mengkorupsi uang rakyat. Kalau saja setiap orang mau menggunakan saat hidupnya untuk persiapan menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja, tentu akan jauh lebih banyak orang baik ketimbang orang jahat.

Ayolah, mumpung ada kesempatan, sebelum kesempitan datang, kita berbuat baik. Sebelum sesal tidak lagi berguna. Sebelum kematian datang dan keinginan serius untuk berbuat baik, tidak lagi berguna. Orang mati yang tidak sempat berbuat baik sangat menyesal dan meminta dikembalikan barang sebentar saja ke dunia ini untuk berbuat baik. Tapi tidak bisa. “...Ya Tuhanku, tidakkah engkau berkenan menunda sedikit saja masa kematianku, pasti aku akan bersedekah dan termasuk orang-orang saleh”. (QS. Al-Munafiqun, 10).

Friday, April 11, 2008

Setiap Orang itu Kaya

“Sedikit sekali kalian bersyukur”, demikian Allah menegaskan dari ayat-Nya. (QS. Al-Mulk, 23).

Inilah salah kaprah yang paling banyak terjadi dalam masyarakat kita. Kekayaan selalu diukur dari materi. Seseorang baru dianggap kaya, misalnya, kalau sudah punya beberapa mobil merci terbaru, sekian rumah mewah, uang simpanan milyaran rupiah dan seterusnya. Jarang sekali yang menyadari bahwa sejak baru lahir sekalipun, seseorang sudah sangat kaya.

Ia diberi jantung misalnya. Jantung ini terus bekerja memompa darah untuk didistribusikan ke seluruh organ tubuh sepanjang usianya. Bahkan ketika ia tidur sekalipun, jantung terus bekerja. Ia terus berdetak tanpa henti 100 ribu kali dan memompa 4 ribu galon per hari selama 60 tahun, 70 tahun atau 80 tahun sepanjang usia pemiliknya. Tidak ada satu mesin buatan manusia yang bisa berkerja non stop dalam waktu lama seperti ini, secanggih apapun ia. Kalau terus dipaksa bekerja, ia pasti aus dan bisa jadi meledak. Kekayaan diri yang bernama jantung ini, tidak bisa dihargai materi berapapun jumlahnya.

Ia diberi pembuluh darah yang menjadi pipa penyalur makanan dalam jaringan tubuh. Sebuah jaringan yang sangat rumit. Jika diulur, pembuluh darah seseorang bisa jadi sepanjang 100 kilo meter. Ia diberi mata yang bekerja sangat teliti, menangkap warna yang indah, obyek tiga dimensi, menikmati indahnya matahari tenggelam yang beranjak sujud kepada Tuhannya. Ia diberi telinga, sebuah sistem pendengaran yang bahkan bisa menangkap segala suara; suara yang melenakan atau mengerikan. Ia diberi otak yang kalau kecanggihan dan kemampuan kerjanya bisa diterjemahkan menjadi mesin komputer, maka harganya mencapai 100 triliyun rupiah!

Bukankah, dengan demikian, setiap orang sebenarnya amat sangat kaya? Tetapi mengapa jauh lebih banyak orang yang merasa kurang ketimbang merasa cukup, apalagi berlebih?

Itulah manusia. Dalam urusan dunia, mereka selalu melihat ke atas. Akibatnya, mereka selalu merasa kurang, kurang dan kurang! Orang macam ini tidak akan pernah terpuaskan kecuali jika ia sudah tiba saatnya dimasukkan ke liang kubur. Itulah peringatan al-Qur’an, “kalian dilenakan dengan perlombaan memperbanyak kekayaan dunia, sampai tiba saatnya kalian harus masuk liang kubur”. (QS. At-Takatsur, 1-2).

Apakah kita mesti menunggu masuk kuburan untuk bisa bersyukur? Tentu tidak bukan? Sebab ketika seseorang sudah saatnya masuk kubur, ketika kematian datang menjemputnya, ia sudah tidak lagi bisa berbuat apa-apa, tidak ada lagi waktu untuk bersyukur. Oleh karena itu, sebelum waktunya habis, mestinya kita segera membalik paradigma bahwa apapun yang sudah Allah berikan kepada kita, itu sudah jauh lebih dari cukup untuk membuat kita senantiasa berterima kasih kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya.

Kesadaran yang paling baik adalah yang lahir dari dalam hati, bersemi, dirawat, berkembang besar sampai memberikan buah dalam kehidupan kita sehari-hari. Semakin seseorang tahu hakikat dirinya, semakin pintar ia bersyukur kepada Penciptanya.

Thursday, April 10, 2008

Sampaikanlah!

Sering sekali Rasulullah SAW memberi pesan kepada para sahabat yang menghadiri majlisnya untuk menyampaikan apa yang mereka dapatkan kepada para sahabat yang tidak hadir. “hendaklah yang hadir menyampaikan (hadits) kepada yang tidak hadir”, begitu pesan Rasulullah.

Secara khusus Rasulullah memberi kabar gembira kepada para penyampai ini. Sabda beliau, “Allah akan mencemerlangkan orang yang mendengar perkataanku, lalu ia memahaminya dan menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana yang dia ketahui”.

Kegiatan inilah yang menjamin persebaran Islam dengan sangat cepat. Dalam tempo setahun Mus’ab bin Umair diutus oleh Rasulullah ke Madinah setelah Baiat Pertama untuk menyampaikan Islam sampai digambarkan, tidak satu rumahpun di Madinah tersisa, kecuali ada pembicaraan tentang Islam di rumah-rumah tersebut. Satu orang yang mendengar menyampaikan kepada yang lain dan pesan itu sampai kepada semuanya.

Inilah yang menjaga keabsahan hadits-hadits Rasulullah SAW hingga sampai kepada kita. Hadits tersebut diriwayatkan dari sahabat ke sahabat, ditransmisi dari generasi ke generasi. Pesannya adalah sampaikan, sampaikan apa adanya dengan jujur agar semua orang tahu dan berubah menjadi baik dengan landasan pengetahuannya itu. Sehingga tidak ada alasan tidak baik karena tidak tahu.

Kejujuran dan kredibilitas penyampai menjadi dua unsur utama dalam kegiatan ini. Rasulullah mengecam keras orang yang berani mendustakannya, menyampaikan apa yang Rasulullah tidak sampaikan, atau lain dari apa yang beliau sampaikan. “Barang siapa yang dengan sengaja mendustakanku maka bersiaplah untuk bertempat di api neraka”, sabda Rasulullah SAW.

Soal kredibilitas penyampai ditegaskan dalam al-Qur’an, bahwa seseorang yang mendapat berita dari orang fasik harus melakukan kaji ulang (check ang recheck) tentang kebenaran berita tersebut. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang membawa berita kepada kalian, maka pastikan kebenaran berita tersebut agar kalian tidak melakukan tindakan terhadap sekelompok orang atas dasar kebodohan lalu kalian menyesal...”. (QS. Al-Hujurat,6).

Kalau saja setiap orang Islam menyampaikan pengetahuan tentang agama dari satu ke orang lain secara berantai dengan mempertahankan kejujuran dan kredibilitas diri, niscaya tidak ada orang Islam yang asing dengan agamanya. Siapa tahu begitu pengetahuan itu sampai, Allah SWT membarengkannya dengan hidayah dan petunjuk-Nya. Maka akibatnya tentu saja kebaikan, kedamaian, ketenteraman bahkan kesejahteraan akan menjadi arus utama dalam masyarakat.

Ini bukan sekedar teori. Ini pernah dibuktikan oleh generasi muslim awal. Cepat sekali membawa membangun masyarakat kuat yang didasari nilai-nilai luhur yang bukan sekedar diketahui, tetapi diamalkan. Dalam waktu kurang dari satu abad, pada tahun ke-96 H, Islam sudah sampai ke Spanyol di barat dan India di timur. Tidakkah kita hendak membuktikannya sekali lagi dalam konteks Indonesia untuk memperbaiki negara-bangsa yang masih lemah ini?

Wednesday, April 9, 2008

Orang Bahagia, Orang Celaka

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebut empat tanda orang bahagia dan orang celaka.

Tanda-tanda orang celaka: Pertama, ia selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal tidak ada jaminan bahwa kebaikan-kebaikan tersebut diterima oleh Allah SWT. Kedua, ia selalu melupakan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukannya, padahal dosa-dosa tercatat rapi dalam buku catatan amalnya. Ketiga, ia selalu melihat ke atas dalam urusan dunia, sehingga ia selalu merasa kurang dan tidak bisa bersyukur. Keempat, ia selalu melihat ke bawah dalam urusan akhirat, sehingga ia tidak punya semangat untuk berlomba-lomba mengumpulkan bekal akhirat.

Tanda-tanda orang bahagia: Pertama, ia selalu melupakan kebaikan-kebaikan. Ia sangat tahu diri, merasa tidak pantas membangga-banggakan kebaikan-kebaikannya. Seolah dia tidak pernah berbuat kebaikan. Inilah kerendahan hati yang benar. Kedua, ia selalu mengingat kesalahan-kesalahan. Rasa sesalnya terus menggelayutinya karena perbuatan salahnya itu. Ia takut, jangan-jangan karena perbuatan salahnya itulah, murka Allah SWT datang. Ketiga, dalam urusan dunia, ia selalu melihat ke bawah. Apapun kondisinya, ia tetap mensyukurinya, karena menurutnya ia lebih beruntung ketimbang mereka yang di bawahnya. Keempat, ia selalu melihat ke atas dalam urusan akhirat, sehingga tanpa bosan, ia terus bersemangat mengumpulkan bekal akhirat.

Kita tinggal memeriksa diri kita masing-masing, manakah dari tanda-tanda tersebut yang kita miliki. Semoga saja, tanda-tanda orang bahagia itu, berada pada diri kita.

Monday, April 7, 2008

Mencari Teman

Aristoteles, filosof kebanggan peradaban Yunan itu, pernah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak akan bisa hidup sendiri. Sebenarnya ini tidak baru. Sejak Allah SWT menciptakan makhluk-Nya, hukum alam yang diberlakukannya adalah segala sesuatu tercipta berpasang-pasangan.

Pasangan-pasangan itu akan melahirkan keluarga. Gabungan unit-unit keluarga akan membentuk masyarakat. Masyarakat besar mewujud sebagai sebuah bangsa. Bangsa-bangsa bergaul dalam tata dunia manusia. Begitulah hidup. Tidak seorang pun yang bisa hidup sendiri. Pemenuhan hajat hidupnya banyak tergantung kepada orang lain.

Kalaulah seseorang harus mencari teman, maka teman terbaik adalah teman yang siang malam beraktifitas hanya untuk mencapai ridla Allah SWT. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi, “Bersabarlah untuk tetap bersama orang-orang yang berdoa kepada Tuhan mereka siang dan malam demi mengharap ridla-Nya. Janganlah engkau berpaling darinya karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah mengikuti orang yang telah Kami lupakan hatinya dari mengingat kami dan ia mengikuti hawa nafsunya. Urusan orang macam ini adalah hancur”. (QS. Al-Kahfi, 28).

Kata ‘bersabarlah’ yang digunakan dalam ayat ini menarik untuk diungkap. Ia harus bersabar karena melawan bisikan hawa nafsunya. Biasanya, seseorang lebih berminat untuk mencari teman, relasi, rekan bisnis, kawan politik yang mendatangkan kelezatan duniawi kepadanya. Mencari teman, sadar atau tidak, ditentukan oleh seberapa besar imbas material yang kembali kepada orang tersebut. Semakin besar kekayaan material sang teman, semakin tinggi jabatannya, semakin berpengaruh ia, maka semakin kuat orang tadi mengikat diri kepada sang teman.

Al-Qur’an membalik paradigma ini. Jika kekayaan, jabatan dan pengaruh melupakan sang teman dari Tuhannya, maka selayaknya ia ditinggalkan saja, bukan mengikatkan diri lebih kuat. Sebab, tidak ada jaminan keselamatan dunia-akhirat dari menemani orang macam itu. Dalam perspektif masa depan terjauh, bahayanya lebih besar.

Teman yang harus dicari adalah teman yang total menghambakan dirinya kepada Allah SWT. Kata “berdoa siang dan malam” yang digunakan dalam ayat ini adalah sekedar sampel dari kenyataan bahwa orang tersebut mempersembahkan segala apapun yang dilakukannya demi mendapatkan ridla Allah SWT. Ia selalu melihat bimbingan Allah SWT dalam segala aktifitasnya. Orang macam inilah yang mesti ditemani, didukung, diharapkan luapan balik kebaikannya.

Paradigma ini amat sangat penting dalam tata masyarakat yang sudah menjadikan demokrasi sebagai salah satu pilarnya. Ujungnya, apapun ditentukan dengan pemungutan suara. Siapa saja yang mendapat suara dukungan terbanyak, dialah yang akan berkuasa.

Di sinilah pentingnya cara pandang mencari teman yang betul-betul tunduk kepada Allah SWT. Akibat yang paling serius misalnya, ketika kita memilik si A atau si B untuk memegang jabatan pemerintahan tertentu, bukan lagi ditentukan seberapa banyak hartanya, seberapa besar pengaruhnya, seberapa terkenal dia, tetapi oleh seberapa istiqomah ia mengingat Allah SWT, seberapa taat dia kepada aturan-aturan Allah SWT, seberapa takut ia kepada Allah SWT dan seberapa banyak nilai-nilai luhur ajaran Allah SWT yang sudah diteladankan para utusan-Nya dapat ia implementasikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Doa Bahagia

Setiap orang seharusnya bahagia. Inilah doa yang diajarkan Rasulullah SAW: “Ya Allah, kami mohon perlindungan dari gelisah dan sedih, lemah dan malas, pengecut dan pelit, dibelit hutang dan dikuasai orang lain”. Orang yang terhindar dari hal-hal ini adalah orang bahagia.

Mari kita lihat. Rasulullah SAW, pertama, memohon perlindungan dari kegelisahan. Bahasa Arabnya: al-Hamm. Kata ini bermakna rasa sedih membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Banyak orang risau dengan masa depan, takut akan terjadi begini atau begitu. Padahal jika betul-betul sampai ke masa depan, bayangan buruk itu, belum tentu terjadi. Ia adalah sesuatu yang belum nyata, lantas kenapa ia mesti membuat kita sedih atau takut? Biarkan saja waktu terus berlalu sampai ia terjadi. Kita hadapi dan memusatkan perhatian pada yang nyata sajalah, pada apa yang betul-betul sedang kita hadapi.

Kedua, Rasulullah SAW memohon perlindungan dari kesedihan: al-huzn. Kata ini berarti rasa sedih atas sesuatu yang sudah terjadi, sudah berlalu. Misalnya, seseorang kehilangan emas 100 gram. Setelah kehilangan itu terjadi, ia terus memikirkannya: sedih, menyesal dan seterusnya. Padahal barang yang sudah hilang itu belum tentu kembali dengan kesedihannya. Kenapa kejadian itu tidak dikembalikannya kepada Allah SWT, bahwa segala sesuatu tidak mungkin terjadi tanpa ketentuan dan keputusan-Nya. Lantas kenapa mesti disedihkan? Biarkan saja ia berlalu.

Ketiga dan keempat, Rasulullah SAW memohon perlindungan dari lemah dan malas. Lemah artinya jika seseorang ingin melakukan sesuatu tetapi tidak bisa dilakukannya karena memang tidak mampu. Sedangkan malas berarti jika seseorang ingin melakukan sesuatu tetapi tidak dilakukannya, padahal ia mampu untuk itu. Dua penyakit ini adalah sumber kemunduran sebuah komunitas. Tidak ada prestasi yang bisa dicapai oleh kelemahan dan kemalasan.

Kelima dan keenam, Rasulullah SAW memohon perlindungan dari sifat pengecut dan pelit. Pengecut berarti tidak mau mengorbankan kelebihan tenaga fisik untuk orang lain atau kepentingan umum, sedangkan pelit tidak mau mengorbankan kelebihan harta untuk orang lain atau kepentingan umum. Orang macam ini hanya memikirkan dan bertindak untuk kepentingan diri sendiri saja. Ia mau menerima bantuan tenaga dan harta orang lain, tetapi ia tidak mau untuk memberikannya kepada orang lain.

Ketujuh dan kedelapan, Rasulullah SAW memohon perlindungan dari dikuasai hutang dan dikuasai orang lain. Hutang adalah belitan harta yang membuat kita tidak tegak berdiri dan tidak bebas begerak, sedangkan kekuasaan orang lain kepada kita bakal mengakibatkan kita seperti budak yang tidak bebas berkehendak. Alangkah sempitnya hidup macam ini.

Nah, jika kita terhidar dari seluruh kondisi itu. Kita tidak risau dengan masa depan dan tidak sedih dengan masalah lalu. Kita tidak lemah dan tidak malas. Kita tidak pengecut dan tidak pelit. Kita tidak dibelit hutang dan tidak berada di bawah kekuasaan orang lain. Maka kita adalah orang yang bahagia di dunia ini. Inilah ukuran-ukuran yang universal dan langgeng yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Inilah landasan hidup bahagia yang bakal memuat kita terus enjoy, bersemangat, penuh empati dan merdeka. Kalau semua orang di Indonesia memiliki rasa semacam ini, tentu bangsa ini bakal segera menjadi bangsa besar yang dipenuhi orang-orang bahagia. Bukan bangsa rumah sakit yang bangunan materialnya megah-mencakar langit tapi diisi oleh orang-orang sakit!

Sunday, April 6, 2008

Menjaga Hidayah

Beruntunglah orang-orang yang mendapat hidayah. Di beberapa tempat dalam al-Qur’an, Rasulullah, Muhammad SAW sangat menginginkan keluarga dan kaumnya mendapat hidayah itu. Namun Allah SWT mengingatkan beliau bahwa urusan memberi hidayah adalah hak prerogatif-Nya. Tugas beliau hanyalah menyampaikan apa yang Allah SWT perintahkan untuk disampaikan. Beliau tidak perlu sedih atau kecewa jika mereka yang beliau ajak masuk Islam tidak mendapatkan hidayah Allah SWT untuk itu.

Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut itu: “Sesungguhnya Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. Al-Baqarah, 213). “bukan kewajibanmu memberi hidayah kepada mereka, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Baqarah, 272). “engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Qashash, 56).

Oleh karena itu, al-Qur’an mengajarkan doa berikut: “ya Tuhan kami, janganlah sesatkan kami setelah engkau memberi hidayah kepada kami dan karuniakanlah kami kasih sayang dari sisi-Mu. Sesungguhnya engkau maha pemberi karunia”. (QS. Ali Imran, 8).

Ya, kita memohon agar tetap berada dalam hidayah, agar jangan sampai kembali salah setelah benar, sesat setelah lurus. Jika kita telah berhasil meninggalkan dosa-dosa, besar maupun kecil, kita memohon agar jangan sampai kita kembali melakukannya. Kalau kita telah dituntun oleh Allah berada pada kondisi yang nyaman, ruman yang tenteram, hati yang terus bergairah dalam kebaikan, kita memohon jangan sampai kita dikembalikan pada hidup yang sempit, panas, penuh kegelisahan dan susah berbuat baik.

Tentu saja mempertahan hidayat butuh usaha dan kerja sungguh-sungguhnya. Dalam pergaulan hidup kita sering mendengar, “mempertahankan lebih berat dari merebut”. Bertahan dalam hidayah meniscayakan kita untuk berusaha terus menjaga segala sesuatu yang dimestikan oleh hidayah itu. Misalnya, kita mesti menjaga solat kita agar bisa kita tegakkan dengan benar: dikerjakan tepat pada waktunya, lengkap syarat-rukunnya, penuh penghayatan karena kekhusyu’an; Kita menjaga perbuatan dan apapun yang masuk ke tubuh kita adalah sesuatu yang halal dan baik dan seterusnya-dan seterusnya.

Kalau kita bisa mempertahankan dan mengembangkan hidayah tersebut, Insya Allah, kita akan merasakan kenikmatan iman, kenikmatan shalat, kelezatan membaca Al-Qur’an, keluarbiasaan zikir dan seterusnya. Kita akan merasakan miniatur surga sudah diturunkan dalam hidup kita. Kondisi macam ini, akan menjamin kebahagiaan hati kita, meskipun harus berhadapan dengan kondisi apapun: berlebihan atau kekurangan secara materi, diberi kesehatan atau sedang diuji dengan penyakit, sedang berkumpul atau berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Ukuran hidup kita menjadi lebih langgeng dan spiritual. Asal kita masih bisa berzikir, masih bisa shalat, masih bisa baca al-Qur’an, masih bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan masih bisa menjauhi dosa-dosa, kita pada hakikatnya masih diberi karunia luar biasa oleh Allah SWT.

Maka marilah kita syukuri hidayah itu. Mari kita mempertahankannya dengan sungguh-sungguh!

Saturday, April 5, 2008

Toleransi

Toleransi sebenarnya bukan anjuran atau pilihan tapi keharusan atau keniscayaan. Sebabnya, perbedaan telah menjadi niscaya dalam kehidupan manusia. Keberagaman adalah hukum Allah SWT yang tidak bisa dirubah.

Al-Qur’an menyebutkan: “wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki dan perempuan, Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling berkenalan. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujurat, 13).

Ketika kita menoleh ke alam sekitar, kita akan menemukan berbagai macam tumbuhan yang berbeda-beda: macamnya, bentuknya, warnanya, gunanya, dan seterusnya. Ketika kita melihat dunia hewan, pasti kita akan menemukan berbagai macam, bentuk, sifat, guna dan keindahan hewan-hewan di sekeliling kita. Ketika kita meneropong ke langit, kita akat melihat keindahan bintang yang bentuk dan pijar sinarnya berbeda-beda. Keberbedaan dalah hukum Allah SWT yang niscaya.

Begitu juga halnya ketika kita melihat dunia manusia. Kita akan menemukan keberbedaan itu semakin kompleks dan indah. Ada laki-laki dan perempuan. Ada yang berkulit putih, hitam, sawo matang, kemerahan dan seterusnya. Ada yang pendek dan tinggi. Ada yang bemata sipit dan ada yang bermata lebar. Ada yang berambut lurus, keriting, hitam, bule dan seterusnya.

Memasuk dunia yang tidak material, kita akan menemukan manusia berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Ada bahasa inggris, arab, perancis, mandarin, jepang, spanyol, indonesia, india dan seterusnya. Cara hidup mereka berbeda-beda. Setiap bangsa memiliki kebudayaan masing-masing. Dalam setiap bangsa masih ada suku-suku yang memiliki adat istiadat sendiri-sendiri.

Memasuki dunia keyakinan dan kepercayaan, manusia tersebar pada agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Secara ideologi pemikiran, misalnya ada kapitalisme, sosialisme, pembangunanisme dan seterusnya. Secara agama, ada Islam, Kristen, Hindu, Buda dan berbagai aliran kepercayaan. Bahkan dalam satu agama sekalipun, ada sekte-sekte yang memiliki ciri khas dan perbedaan tipis atau tebas, kecil atau besar.

Lantas masuk akalkah kalau kita memaksakan keberagaman yang begini rupa untuk disatukan dan diseragamkan? Jawabanya pasti tidak. Karena itu tidak mungkin dilakukan. Karena itu bertentangan dengan hukum Allah SWT.

Maka kembali ke al-Qur’an menjadikan kita bijaksana. Marilah kita menghadapi keberagaman ini sebagai pintu gerbang untuk saling mengenal: “litaarafu”. Selanjutnya setelah saling mengenal, bagaimana keberagaman dan keberbedaan ini menjadi basis bagi kerjasama untuk kebaikan umat manusia. Ukurannya kemudian menjadi jelas, yang terbaik adalah yang paling takut kepada Allah SWT, yang paling banyak memberikan manfaat bagi sekitarnya dan yang paling depan dalan perlombaan berbuat baik.

Inilah sebenarnya inti toleransi itu. Kemampuan untuk memahami dan menyerap keberbedaan, kemampuan untuk saling mengenal, kemampuan untuk saling bekerjasama dalam kebaikan dan semangat untuk menjadi yang terbaik dalam kebaikan, untuk menjadi manusia yang paling bisa menjabarkan ketentuan Allah SWT di dunia ini. Kalau tidak ada pilihan selain menerima keberagaman dan keberbedaan sebagai satu fakta yang tak tertolak, kenapa kita tidak belajar dan berusaha bertoleransi?

Friday, April 4, 2008

Jangan Sombong

Nabi SAW sangat tepat mendefinisikan kesombongan. Dalam sebuah hadits beliau bersabda bahwa kesombongan adalah “menolak kebenaran dan meremehkan orang lain (Bathr al-Haqq wa Gamth an-Nas)”.

Menolak kebenaran hanya muncul dari orang sombong. Kadarnya bisa kecil atau besar. Banyak contoh disebutkan dalam al-Qur’an. Ayah Nabi Ibrahim tidak mau menerima kebenaran yang dibawa anaknya. Firaun tidak mau menerima kebenaran yang dibawah Nabi Musa, mantan anak asuhnya. Abu Jahal tidak mau menerima kebenaran yang dibawa kemenakannya. Orang sombong tidak mau atau sulit menerima kebenaran. Kita kadang melihat dari mulut siapa kata-kata itu keluar, baru kita mau menerimanya. Hanya lantarannya yang mengatakannya anak kecil, seseorang kadang tidak mau menerimanya meskipun itu benar.

Meremehkan orang lain bisa disebut juga merasa diri lebih tinggi atau lebih suci atau lebih mulia. Ini juga hanya muncul dari orang sombong. Iblis tidak mau mengikuti perintah untuk menghormati Nabi Adam lantaran merasa dirinya lebih tinggi. Katanya, “Engkau (Tuhan) menciptakanku dari api dan Engkau menciptakannya (Adam) dari tanah”. Iblis merasa api lebih mulia dari tanah. Biasanya, seseorang memang lebih mudah melihat aib orang lain ketimbang memeriksa aib diri sendiri. “Semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuh mata tidak tampak”, demikian kata pepatah.

Oleh karena itu, betapapun Allah memerintahkan manusia dan orang beriman untuk bertakwa, namun tidak ada seorangpun yang berhak mengkalaim dirinya sebagai paling bertakwa. Allah berfirman, “janganlah kalian merasa suci, sebab Allah semata yang mengetahui orang bertakwa”. Makanya, Nabi menujuk dadanya sebagai tempat bersemayamnya takwa. “Takwa itu di sini, takwa itu di sini, takwa itu di sini (at-taqwa ha huna, at-taqwa ha huna, at-taqwa hahuna)”, sabda Rasulullah SAW ketika menjelaskan takwa. Karena takwa tempatnya di hati, seseorang tidak tahu hati orang lain. Kalau dia merasa hatinya paling suci, sangat boleh jadi hati orang lain lebih suci lagi.

Maka yang berhak sombong hanya Allah SWT. Dalam al-Qur’an, Allah SWT menantang orang-orang yang sombong. Adakah dari mereka yang bisa menembus bumi dan melebihi tingginya gunung? Makanya Allah memerintahkan seseorang untuk tidak berjalan dengan membusungkan dada merasa diri paling hebat, paling gagah atau paling suci sendiri. Seberapapun kekuasaan manusia, tetap saja manusia lemah. Karena kekuasaan, harta atau apapun juga di dunia ini titipan dan berada di bawah kekuasaan mutlak Allah. Allah bisa mengangkat atau menghinakan seseorang. Karun yang sombong karena harta ditenggelamkan ke perut bumi. Firaun yang sombong karena kekuasaannya ditimbul tenggelamkan di laut merah ketika meregang nyawa.

Tidak boleh sombong. Sedikitpun tidak boleh sombong. Tidak ada yang layak disombongkan oleh manusia. Rasulullah SAW menyebut bahwa orang yang memelihara kesombongan meskipun hanya sebesar atom, tidak akan masuk surga. Maka, kuncinya hanya dua: kita harus menerima kebenaran dari apapun dan siapapun datangnya; dan kita harus tidak boleh meremehkan orang lain, apapun kondisi. Sebab sangat boleh jadi orang yang kita remehkan itu, lebih mulia dalam pandangan Allah ketimbang kita yang merasa lebih mulia darinya.

mukaddimah

Blog ini didedikasikan untuk saling mengingatkan, mempertajam mata hati dan menguatkan konsistensi di jalan lurus.