Wednesday, March 3, 2010

Spirit Maulid Nabi dan Paradoks Bangsa Kita

Seberapa kuatkah spirit Rasulullah menghunjam di batin kita? Padahal tiap tahun dengan gegap gempita kita merayakan hari kelahirannya. Dengan massif, kita –masyarakat muslim Indonesia—mauludan sebulan penuh Rabiul Awwal. Dengan sangat bersemangat, kita selawatan; para ustadz berceramah di mushalla-mushalla sampai di masjid jami’ ibu kota.

Seberapa kuatkah sukma cinta umat-nya Rasulullah menghunjam di batin para pemimpin kita ketika para pejabat negara mendapat mobil mewah, rumah mewah, fasilitas dan gaji mewah dikelilingi puluhan juta rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan; bayi-bayi kurang gizi dan fasilitas umum untuk rakyat yang tidak memadai?

Seberapa kuatkah kejujuran Rasulullah merasuk ke sukma para pengelola keuangan dan aset negara ketika triliunan uang negara dikorupsi; ketika data-data kebenaran dibuat remang-remang; ketika jawaban yang dikeluarkan pada saat diminta klarifikasi adalah ‘saya tidak tahu’, ‘saya lupa’ atau ‘tanyakan anak buah saya’.

Seberapa kuatkah kegigihan menegakkan keadilan Rasulullah merasuk ke jantung hati para penegak hukum kita ketika hukum bisa diatur mafia; kasus diperjualbelikan; vonis bisa diatur; hukum bersikap keras tegas kepada yang lemah dan lembek elastis kepada yang kuat dan berkuasa.

Seberapa kuatkah kebersahajaan dan kesederhanaan Rasulullah dihayati oleh para pejabat bangsa kita di semua level ketika kontras para pempimpin dan rakyat begitu tegas; gaya hidup mereka begitu berjarak dan para pemimpin sibuk bersolek menjaga citra agar rakyat terpesona kepada raganya, bukan mencintai hati, ruh dan karya besarnya.

Seberapa kuatkah semangat anti kekerasan Rasulullah dihayati oleh para tokoh agama kita ketika wajah yang diperlihatkan kepada para pemeluk aliran, agama dan kepercayaan lain adalah wajah yang tidak ramah dan sikap yang tidak menunjukkan kedamaian dan visi Islam sebagai rahmat untuk alam semesta?

Seberapa kuatkah pendidikan dengan keteladanan Rasulullah diamalkan oleh para guru kita di tengah sebegitu banyak pengajaran tanpa pendidikan; ilmu pengetahuan tanpa akhlak; merawat raga lebih daripada merawat jiwa; mengejar ijazah dan gelar dengan cara plagiat dan masih begitu banyak praktik tidak jujur dalam proses pengajaran dan pendidikan kita?

Seberapa kuatkah spirit kedermawanan Rasulullah dihayati oleh orang-orang kaya kita di tengah masih banyak orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar yang tidak taat pajak dan tidak taat zakat apalagi untuk bersedekah dan mengarusutamakan amal sosial dan pilar kekuatan umat seperti wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Seberapa kuatkah spirit menjaga kebersihan dan etika sosial Rasulullah diamalkan oleh koran, majalah, radio dan televisi kita ketika masih banyak tayangan yang mengeruhkan kejernihan etika sosial ditumpahruahkan ke ruang publik kita?

Seberapa kuatkah keikhlasan dakwah Rasulullah dihayati oleh para ustadz kita ketika benda-benda, selebritas dan parameter kuantitas seolah sudah menjadi ukuran kesuksesan sebuah dakwah, bukan seberapa tinggi kualitas iman, amal saleh dan kerelaan berjuang untuk agama dan kemanusiaan dari para audiens mereka?

Seberapa kuatkah kebaikan dan keadilan Rasulullah kepada istri-istrinya diamalkan oleh para suami ketika karena fakta buram di wilayah institusi keluarga, pemerintah tak bosan-bosannya mengeluarkan peraturan, undang-undang, komisi dan seterusnya untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan untuk melindungi perempuan dan anak?

Seberapa totalkah kita, sebagai pribadi-pribadi, menjadikan Rasulullah sebagai teladan kualitas-kualitas prilaku kita dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta (kekhusyukan, kesungguhan beribadah, keasyikan mengejar keutamaan akhirat dan seterusnya); berinteraksi dengan sesama manusia (toleransi, kerendahatian, kejujuran, cinta kasih, kerja keras dan seterusnya); dan berinteraksi dengan alam (menggunakan sumber daya alam dengan bijaksana dan bukan eksploitasi semena-mena) di tengah masih jauh harapan dari kenyataan setelah dua belas tahun reformasi bergulir di negeri kita?

Jika spirit cinta kasih, kejujuran, keadilan, kesederhanaan, toleransi, keteladanan, kebersihan sosial, keikhlasan, pengorbanan, keintiman hubungan dengan Sang Pencipta dan kehangatan interaksi dengan manusia dan alam bisa kita pahami, hayati dan amalkan dalam keseharian kita, maka peringatan maulid nabi menemukan relevansi substansialnya dengan upaya perbaikan bangsa. Dan tentu saja, kualitas-kualitas semacam inilah yang harus terus diperkuat di semua level bangsa mulai dari rakyat jelata sampai para pemimpin negara.

Yang hilang dari dua belas tahun perjalanan reformasi bangsa kita adalah pembangunan ulang manusia Indonesia. Seberapapun kencang pertumbuhan ekonomi, upaya penegakan hukum dan penguatan institusi demokrasi namun manusia-manusia penyelenggaran negara masih bermental korup, tidak jujur dan tidak mencintai rakyat, segala upaya perbaikan seolah menegakkan benang basah.

Belajar dari Rasulullah, yang sedari awal disentuhnya adalah menanamkan iman dan akhlak mulia sekuat-kuatnya ke dada dan prilaku umat Islam generasi awal. Sekitar dua belas tahun periode Mekah, beliau membangun ulang mental dan prilaku mereka. Generasi emas itulah yang tidak sampai seratus tahun telah memimpin peradaban, membawa Islam masuk ke hati penduduk bumi dari jazirah Arab ke Andalusia di Barat dan Indonesia di Timur.

Maulid Nabi harus menjadi tonggak perbaikan manusia Indonesia untuk mewujudkan pada diri mereka kualitas-kualitas yang diteladankan oleh Rasulullah. Maulid Nabi dengan demikian, tidak berhenti di upacara seremonial tetapi memberi pengaruh substansial bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia secara menyeluruh.

Seberapa kuat kualitas-kualitas Rasulullah bisa kita hayati dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari? Secara jujur, setiap kita memiliki jawabannya.

Thursday, September 17, 2009

Tujuan Zakat

Zakat –baik itu zakat fitrah atau zakat mal-- memiliki dua tujuan inti: menyucikan pemberi zakat dan membantu penerimanya.

Dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. al-Hasyr, 59: 9, at-Tagabun, 64: 16).

Sifat kikir melekat pada diri setiap orang. Setiap orang mencintai harta. Al-Qur’an menegaskan: “dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan”. (Q.S. al-‘Adiyat, 100: 8). “dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan”. (Q.S. al-Fajr, 89: 20). Dalam ayat lain digambarkan bahwa yang bisa menghentikan seseorang menumpuk harta adalah tanah kuburan, yaitu kematian.

Ini penyakit, karena kalau virus cinta harta sudah menguasai hati maka cinta kepada Allah dan Rasul-Nya pasti tergeser. Kesetiaan kepada jalan Allah selanjutnya bakal tergerus. Akibatnya, sifat turunan buruk lainnya seperti sombong, meremehkan orang lain, berlebihan mereguk segala kenikmatan duniawi, menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dan menambah kekayaan dan seterusnya akan berkembang biak. Dan ini pasti penyakit hati.

Zakat dalam konteks ini adalah instrumen untuk menjaga kesehatan hati. Bahwa di atas harta, ada Allah –dan petunjuk-Nya—yang lebih berhak dicintai. Karena yang pertama bersifat sementara dan fana dan yang kedua bersifat kekal dan abadi. Zakat mencabut dari manusia sifat kikir yang secara bawaan melekat padanya. Beruntunglah orang yang memahami zakat dari perspektif ini.

Dari sisi penerima, zakat adalah sarana untuk membantu mereka yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Pesan ini amat kuat tertangkap, terutama pada zakat fitrah. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

فرض رسول الله -صلى الله عليه وسلم- زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث، وطعمة للمساكين، فمن أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.
(رواه أبو داود وابن ماجه وصححه الحاكم)

Artinya: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci untuk pelaku puasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor dan memberi makan untuk orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat (idul fitri) maka ia menjadi zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk sedekah. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah. Menurut al-Hakim, statusnya shahih).

Zakat membantu mereka yang kekurangan di Hari Raya Idul Fitri untuk merasakan kebahagiaan hari raya. Sementara itu, zakat mal (zakat harta) membantu delapan golongan yang berhak menerimanya, terutama fakir miskin untuk bergerak bangkit dari keterpurukannya. Zakat produktif bahkan dapat mentransformasi mereka yang tadinya penerima zakat menjadi pemberi zakat.

Zakat memadamkan api iri dan dendam orang-orang miskin dan terpinggirkan kepada orang-orang kaya dan berkuasa. Ia menjadi saluran solidaritas yang menyatukan dua sisi umat: si kaya dengan si miskin; yang kelebihan dengan yang kekurangan. Zakat menjadi salah satu alat untuk mewujudkan umat yang bersatu bagi satu badan; jika yang satu menderita, yang lain juga ikut merasakannya dan bersegera membantunya.

Dalam masyarakat muslim yang membayar zakat, tidak ada jalan bagi gambaran revolusi sosial-nya marxisme yang disebabkan oleh pengumpulan kapital pada sekelompok orang dengan terus memiskinkan jauh lebih banyak bagian dari masyarakat. Zakat dengan demikian menjadi salah satu instrumen jaring pengaman sosial yang efektif.

Lagipula dalam Islam, dalam harta orang kaya, secara inheren, terdapat hak orang miskin. Selama hak ini tidak dikeluarkan, harta orang kaya bisa jadi musibah baginya. Di sisi lain, perspektif ini meniscayakan zakat sebagai saluran distribusi harta bergerak dalam masyarakat untuk dua tujuan: menghindari penumpukan harta pada satu kelompok tertentu dan mengatasi kesenjangan sosial.

Tema keadilan sosial dalam Islam tidak bisa lepas dari tema zakat. Zakat dapat menjadi alat ampuh untuk mewujudkan keadilan sosial manakala ia dikelola dengan sebaik-baiknya. Tidak heran kalau posisi zakat dalam rukun Islam berada di nomor tiga setelah syahadat dan shalat. Al-Qur’an sering menyebut shalat dan zakat beriringan karena eratnya hubungan antar keduanya.

Dalam sejarah Islam, Abu Bakar as- Shiddiq selaku khalifah pertama pengganti Rasululllah SAW bersikap sangat keras sampai memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Beliau tidak terima kalau ada umat Islam yang membeda-bedakan kewajiban shalat dan zakat; mau shalat tapi tidak mau bayar zakat. Ini menunjukkan betapa pentingnya zakat dalam batang tubuh Islam secara keseluruhan.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa di samping memiliki makna vertikal sebagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi mereka yang mampu, zakat juga memiliki makna horizontal sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Masyarakat yang tetap mengakui perbedaan alami pada potensi orang-perorang dan rezeki masing-masing yang didapatkan, namun juga tetap tidak mengabaikan orang-orang miskin dan terpinggirkan karena mereka tetap memiliki hak pada harta orang-orang kaya.

Dari tiga sisi ini: pemberi, penerima dan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa tiga tujuan zakat adalah: pertama, untuk membersihkan jiwa dan harta pemberi; kedua, membantu pemenuhan kebutuhan orang-orang yang berhak menerima dan memadamkan api iri dan dengki di hati mereka; dan ketiga, menegakkan keadilan sosial dengan menjamin distribusi harta kekayaan secara adil dan menyiapkan jaring pengaman sosial bagi mereka yang terpuruk.

Saturday, August 29, 2009

Tujuan Puasa adalah Takwa

Takwa menjadi tujuan semua ibadah dalam Islam. Oleh karena totalitas hidup, menurut Islam, adalah ibadah, maka tujuan hidup yang benar adalah takwa. Takwa ini mudah dikatakan tapi sulit diamalkan.

Seluruh khatib jum’at di seluruh dunia wajib memberi pesan takwa dalam khutbah mereka. Bisa dibayangkan betapa banyak takwa diucapkan setiap jum’at. Belum lagi, kalau pesan takwa dalam ceramah-ceramah agama dan kelas-kelas studi Islam dihitung. Bermilyar atau bahkan bertrilyun kata takwa, barangkali, diucapkan dan dijelaskan setiap minggu.

Pertanyaannya, apakah inti pesan takwa itu menjadi kenyataan sehari-hari dalam kehidupan umat Islam?

Sabda Nabi, takwa itu adanya di dada, di hati setiap muslim. Dari dada, ia turun ke amal perbuatan, ke gaya hidup. Takwa yang hendak dituju oleh semua ibadah adalah takwa sebagai gaya hidup, bukan sekedar untuk dipetuahkan.

Takwa sebagai gaya hidup artinya menjadikan petunjuk Allah sebagai rujukan kehidupan dalam segala detilnya. Ini soal pilihan. Karena manusia diberi akal dan wahyu, maka ia diberi kesempatan memilih. Memilih jalan, petunjuk, metode Allah atau memilih petunjuk, jalan, metode yang datang dari selain Allah.

Puasa mengajarkan kita untuk kembali secara total kepada pilihan yang pertama. Pilihan menjadi hamba Allah. Pilihan untuk menjadikan kehidupan sama dengan ibadah kepada Allah dalam maknanya yang paripurna.

Tanpa harus dipaksa oleh puasa, semestinya, hamba Allah harus meninggalkan bisikan hawa nafsunya dan hanya mengikuti petunjuk Allah. Mengambil sekedarnya saja dari jatah badan untuk selebihnya memusatkan diri dengan jatah ruh. Menjadikan dunia sepenuhnya untuk menjadi kendaraan mencapai kebahagiaan di akhirat.

Namun kenyataannya, manusia lebih asyik berburu harta daripada berburu pahala; lebih nikmat memenuhi segala hasrat ragawi ketimbang menampiknya demi merawat kebeningan ruhani; lebih lelap dalam pelukan gelimang kenikmatan sesaat di dunia daripada berlomba-lomba habis-habisan memburu keutamaan-keutamaan di akhirat.

Puasa (shaum atau shiam) artinya –dalam bahasa Arab—menahan (al-imsak). “Menahan” ini bertingkat-tingkat. Dimulai dari menahan diri dari makan minum dan nafsu seksual; menahan segala panca indera dari berbuat dosa; sampai dengan menahan hati dan pikiran dari bersambung (connect) dengan selain Allah.

Imam al-Gazali menyebut tingkat pertama sebagai puasa awam, tingkat kedua sebagai puasa khawash (orang terpilih) dan tingkat ketiga sebagai puasa khawas al-khawas (orang terpilih dari orang terpilih).

Puasa dalam artinya yang awam tadi sudah mencukupi tuntutan agama secara formal. Asal seorang muslim balig sudah menahan diri dari makan minum dan berhubungan suami isteri dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka secara hukum syariat (fiqh), puasanya sah.

Namun belum tentu puasa macam ini mencapai tujuan disyariatkannya puasa.

Nabi memberi peringatan, betapa banyak orang yang puasa hanya mendapat lapar dan haus saja dari puasanya. Betapa banyak orang yang bangun untuk shalat malam di bulan puasa, hanya dapat ngantuk saja dari bangun malamnya.

Ini terjadi karena visi dan pemahaman terhadap tujuan puasa menguap dari yang bersangkutan.

Coba kita perhatikan fenomena yang justru bertolak belakang dari pesan tujuan puasa dalam hari-hari Ramadhan kita sebagai umat Islam. Tingkat konsumsi yang mestinya berkurang karena puasa memesankan agar pelakunya mengurangi jatah badan dari makan minum demi menyegarkan kembali ruh, justru naik di bulan puasa. Banyak orang puasa hanya memindah jatah makan di siang hari ke malam hari, bahkan dengan jumlah dan kualitas yang naik tingkat.

Bagaimanakah lagi dengan menahan panca indera dari segala perbuatan dosa selama bulan Ramadlan agar menjadi kebiasaan di sebelas bulan di luar Ramadlan. Nabi menegaskan, orang yang tidak meninggalkan kebiasaan berkata kotor selama bulan Ramadlan hanya mendapat lapar dan haus saja dari puasanya.

Di sini berlaku kaidah bahwa untuk menguji apakah ibadah seseorang berfungsi baik dan mencapai tujuannya dilakukan dengan melihat apakah interaksinya dengan orang lain berjalan dengan baik.

Dr. Ratib an-Nabulsi, ulama terkemuka Suriah, sering menyitir kaidah ini: “ibadah formal (ibadah syaairiyah) seseorang tidak diterima selama ibadah interaktif (ibadah taamuliyah)-nya tidak benar”.

Artinya: puasa seseorang tidak diterima selama ia masih suka berbohong, mengumpat, menyakiti orang lain, korupsi dan seterusnya. Shalat seseorang tidak diterima selama ia masih melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sedekah seseorang tidak diterima selama ia masih masih menyebut-nyebut, membangga-banggakannya dan menyakitkan hati yang menerima.

Jikak kita periksa Al-Qur’an, maka akan didapatkan bahwa ibadah formal (shalat, zakat, puasa, haji dan seterunya) dalam Islam selalu memiliki korelasi positif dengan interaksi yang baik dengan orang lain.

Jadi yang dituju dari ibadah, termasuk puasa dalam hal ini, bukanlah bentuk formalnya, tetapi pesan spiritualnya.

Banyak pesan spiritual puasa di Bulan Ramadlan yang semuanya mengantarkan seseorang untuk sampai ke tujuan terbesarnya tadi: Takwa.

Pesan pertama adalah puasa sebagai instrumen untuk melatih keikhlasan, kesabaran dan memagari diri dari segala kemenyimpangan dari jalan Allah. Melatih ikhlas artinya puasa semata-mata dilakukan karena Allah. Puasa adalah ibadah yang paling dekat dengan ikhlas karena sifatnya yang tidak pamer, seperti ibadah yang pelaksanaan perlu gerakan tertentu, seperti shalat atau haji. Sampai-sampai dalam hadits qudsi, Allah menggaransi bahwa balasan orang berpuasa langsung Dia yang menentukannya, tidak dengan hitungan-hitungan tertentu. Puasa dalam pesan spiritual ini juga melatih seorang muslim untuk tetap teguh di jalan Allah apapun godaan yang merayunya untuk menyimpang dari jalan Allah.

Pesan kedua adalah bulan puasa sebagai musim kebaikan. Bulan Ramadlan memang dirancang untuk menjadi bulan kebaikan. Perbuatan sunnah dihitung pahalanya sebagaimana perbuatan fardlu di bulan lain. Perbuatan fardlu dihitung sebagaimana tujuh puluh perbuatan fardlu di bulan lain. Di bulan puasa, ada lailatul qadar yang pahala kebaikan di dalamnya, sebagaimana penegasan Al-Qur’an, sama dengan pahala kebaikan seribu bulan. Bulan Ramadlan menjadi musim mereka yang memilliki kelebihan harta untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah untuk meraih pahala yang berlipat ganda.

Pesan ketiga adalah bulan puasa sebagai musim menguatkan hubungan dengan Allah melalui al-Qur’an dan shalat-shalat sunnah. Al-Qur’an adalah sarana Allah “berbicara” dengan manusia. Bulan Ramadlan menjadi musim ideal untuk memperbaharui hubungan dengan al-Qur’an melalui tadarus dan shalat tarawih. Apalagi jika tarawih, seperti di negara-negara Arab dan di sebagian tempat di negara-negara non Arab, juga dijadikan sarana untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Betapa ruginya orang yang selama Bulan Ramadlan, tidak satu kali pun dia mengkhatamkan Al-Qur’an.

Muara dari semuanya adalah menanamkan takwa dalam diri setiap pelaku puasa agar menjadi kekuatan penggerak (driving force) dalam segala aktifitasnya dalam hidup ini. Ibarat puasa sebagai madrasah, sekolah atau universitas, diharapkan setelah tamat, umat Islam tetap mengamalkan apa yang diajarkan selama masa pendidikan. Jika kelas doktoral misalnya membiasakan pesertanya untuk meneliti, menulis, berpikir analitis dan seterusnya, maka setelah tamat pun, kebiasaan tersebut tetap harus dipertahankan. Jika tidak, maka pendidikannya dalam perspektif yang lebih luas, dapat dikatakan tidak berhasil.

Itulah sebabnya, Dr. Yusuf al-Qaradawi, ketua persatuan ulama se-dunia (al-ittihad al-aalami li ulama al-muslimin), berdomisili di Qatar, sering berpesan agar kita tidak menjadi ‘abdan ramadlaniyan (menjadi hamba Allah secara sungguh-sungguh hanya pada bulan Ramadlan saja) tetapi menjadi ‘abdan rabbaniyan (menjadi hamba Allah, beribadah kepada-Nya, kapanpun dan dimanapun).

Rasulullah, Muhammad SAW, bersabda dalam salah satu hadits unggulan yang memuat pesan pokok-pokok kebaikan:

اتق الله حيثما كنت وأتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن (رواه الترمذي

Artinya: Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, iringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan menghapusnya dan bergaullah dengan orang lain dengan perilaku yang baik. (Hadits diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan status hasan atau hasan shahih).

Hadits ini jelas sekali memerintahkan kita untuk bertakwa kapanpun dan dimanapun kita berada. Dalam redaksi lain, Imam al-Gazali mendefinisikan takwa dengan: “Tuhanmu tidak pernah kehilanganmu di tempat yang diperintahkan-Nya dan tidak pernah menjumpaimu di tempat yang di larang-Nya”.

Takwa yang lengket, tidak lepas, macam inilah yang dituju oleh ibadah puasa. Kita tidak berbuat dosa karena takut kepada Allah, bukan karena takut peraturan. Kita tidak memelihara sifat iri, dengki, sombong, pemarah dan segala sifat buruk yang lain, karena Allah melarang kita untuk merawatnya. Kita menjadi pribadi yang jujur, amanah, rendah hati, dermawan dan segala sifat baik lainnya, karena memang Allah memerintahkan kita untuk menanamkannya dalam hati dan menterjemahkannya dalam perbuatan.

Jika puasa berhasil menanamkan semuanya dalam jiwa kita, maka tujuan puasa berhasil. Jika tidak atau kurang, maka puasa kita belum berhasil. Maka mumpung di awal Ramadlan, marilah kita periksa persiapan jiwa kita masing-masing untuk menjadikan tujuan puasa ini sebagai barometer kita selama menjalani ibadah di bulan Ramadlan yang penuh berkah ini.