Thursday, September 17, 2009

Tujuan Zakat

Zakat –baik itu zakat fitrah atau zakat mal-- memiliki dua tujuan inti: menyucikan pemberi zakat dan membantu penerimanya.

Dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. al-Hasyr, 59: 9, at-Tagabun, 64: 16).

Sifat kikir melekat pada diri setiap orang. Setiap orang mencintai harta. Al-Qur’an menegaskan: “dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan”. (Q.S. al-‘Adiyat, 100: 8). “dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan”. (Q.S. al-Fajr, 89: 20). Dalam ayat lain digambarkan bahwa yang bisa menghentikan seseorang menumpuk harta adalah tanah kuburan, yaitu kematian.

Ini penyakit, karena kalau virus cinta harta sudah menguasai hati maka cinta kepada Allah dan Rasul-Nya pasti tergeser. Kesetiaan kepada jalan Allah selanjutnya bakal tergerus. Akibatnya, sifat turunan buruk lainnya seperti sombong, meremehkan orang lain, berlebihan mereguk segala kenikmatan duniawi, menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dan menambah kekayaan dan seterusnya akan berkembang biak. Dan ini pasti penyakit hati.

Zakat dalam konteks ini adalah instrumen untuk menjaga kesehatan hati. Bahwa di atas harta, ada Allah –dan petunjuk-Nya—yang lebih berhak dicintai. Karena yang pertama bersifat sementara dan fana dan yang kedua bersifat kekal dan abadi. Zakat mencabut dari manusia sifat kikir yang secara bawaan melekat padanya. Beruntunglah orang yang memahami zakat dari perspektif ini.

Dari sisi penerima, zakat adalah sarana untuk membantu mereka yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Pesan ini amat kuat tertangkap, terutama pada zakat fitrah. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

فرض رسول الله -صلى الله عليه وسلم- زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث، وطعمة للمساكين، فمن أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.
(رواه أبو داود وابن ماجه وصححه الحاكم)

Artinya: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci untuk pelaku puasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor dan memberi makan untuk orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat (idul fitri) maka ia menjadi zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk sedekah. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah. Menurut al-Hakim, statusnya shahih).

Zakat membantu mereka yang kekurangan di Hari Raya Idul Fitri untuk merasakan kebahagiaan hari raya. Sementara itu, zakat mal (zakat harta) membantu delapan golongan yang berhak menerimanya, terutama fakir miskin untuk bergerak bangkit dari keterpurukannya. Zakat produktif bahkan dapat mentransformasi mereka yang tadinya penerima zakat menjadi pemberi zakat.

Zakat memadamkan api iri dan dendam orang-orang miskin dan terpinggirkan kepada orang-orang kaya dan berkuasa. Ia menjadi saluran solidaritas yang menyatukan dua sisi umat: si kaya dengan si miskin; yang kelebihan dengan yang kekurangan. Zakat menjadi salah satu alat untuk mewujudkan umat yang bersatu bagi satu badan; jika yang satu menderita, yang lain juga ikut merasakannya dan bersegera membantunya.

Dalam masyarakat muslim yang membayar zakat, tidak ada jalan bagi gambaran revolusi sosial-nya marxisme yang disebabkan oleh pengumpulan kapital pada sekelompok orang dengan terus memiskinkan jauh lebih banyak bagian dari masyarakat. Zakat dengan demikian menjadi salah satu instrumen jaring pengaman sosial yang efektif.

Lagipula dalam Islam, dalam harta orang kaya, secara inheren, terdapat hak orang miskin. Selama hak ini tidak dikeluarkan, harta orang kaya bisa jadi musibah baginya. Di sisi lain, perspektif ini meniscayakan zakat sebagai saluran distribusi harta bergerak dalam masyarakat untuk dua tujuan: menghindari penumpukan harta pada satu kelompok tertentu dan mengatasi kesenjangan sosial.

Tema keadilan sosial dalam Islam tidak bisa lepas dari tema zakat. Zakat dapat menjadi alat ampuh untuk mewujudkan keadilan sosial manakala ia dikelola dengan sebaik-baiknya. Tidak heran kalau posisi zakat dalam rukun Islam berada di nomor tiga setelah syahadat dan shalat. Al-Qur’an sering menyebut shalat dan zakat beriringan karena eratnya hubungan antar keduanya.

Dalam sejarah Islam, Abu Bakar as- Shiddiq selaku khalifah pertama pengganti Rasululllah SAW bersikap sangat keras sampai memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Beliau tidak terima kalau ada umat Islam yang membeda-bedakan kewajiban shalat dan zakat; mau shalat tapi tidak mau bayar zakat. Ini menunjukkan betapa pentingnya zakat dalam batang tubuh Islam secara keseluruhan.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa di samping memiliki makna vertikal sebagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi mereka yang mampu, zakat juga memiliki makna horizontal sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Masyarakat yang tetap mengakui perbedaan alami pada potensi orang-perorang dan rezeki masing-masing yang didapatkan, namun juga tetap tidak mengabaikan orang-orang miskin dan terpinggirkan karena mereka tetap memiliki hak pada harta orang-orang kaya.

Dari tiga sisi ini: pemberi, penerima dan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa tiga tujuan zakat adalah: pertama, untuk membersihkan jiwa dan harta pemberi; kedua, membantu pemenuhan kebutuhan orang-orang yang berhak menerima dan memadamkan api iri dan dengki di hati mereka; dan ketiga, menegakkan keadilan sosial dengan menjamin distribusi harta kekayaan secara adil dan menyiapkan jaring pengaman sosial bagi mereka yang terpuruk.

No comments: