Saturday, August 29, 2009

Tujuan Puasa adalah Takwa

Takwa menjadi tujuan semua ibadah dalam Islam. Oleh karena totalitas hidup, menurut Islam, adalah ibadah, maka tujuan hidup yang benar adalah takwa. Takwa ini mudah dikatakan tapi sulit diamalkan.

Seluruh khatib jum’at di seluruh dunia wajib memberi pesan takwa dalam khutbah mereka. Bisa dibayangkan betapa banyak takwa diucapkan setiap jum’at. Belum lagi, kalau pesan takwa dalam ceramah-ceramah agama dan kelas-kelas studi Islam dihitung. Bermilyar atau bahkan bertrilyun kata takwa, barangkali, diucapkan dan dijelaskan setiap minggu.

Pertanyaannya, apakah inti pesan takwa itu menjadi kenyataan sehari-hari dalam kehidupan umat Islam?

Sabda Nabi, takwa itu adanya di dada, di hati setiap muslim. Dari dada, ia turun ke amal perbuatan, ke gaya hidup. Takwa yang hendak dituju oleh semua ibadah adalah takwa sebagai gaya hidup, bukan sekedar untuk dipetuahkan.

Takwa sebagai gaya hidup artinya menjadikan petunjuk Allah sebagai rujukan kehidupan dalam segala detilnya. Ini soal pilihan. Karena manusia diberi akal dan wahyu, maka ia diberi kesempatan memilih. Memilih jalan, petunjuk, metode Allah atau memilih petunjuk, jalan, metode yang datang dari selain Allah.

Puasa mengajarkan kita untuk kembali secara total kepada pilihan yang pertama. Pilihan menjadi hamba Allah. Pilihan untuk menjadikan kehidupan sama dengan ibadah kepada Allah dalam maknanya yang paripurna.

Tanpa harus dipaksa oleh puasa, semestinya, hamba Allah harus meninggalkan bisikan hawa nafsunya dan hanya mengikuti petunjuk Allah. Mengambil sekedarnya saja dari jatah badan untuk selebihnya memusatkan diri dengan jatah ruh. Menjadikan dunia sepenuhnya untuk menjadi kendaraan mencapai kebahagiaan di akhirat.

Namun kenyataannya, manusia lebih asyik berburu harta daripada berburu pahala; lebih nikmat memenuhi segala hasrat ragawi ketimbang menampiknya demi merawat kebeningan ruhani; lebih lelap dalam pelukan gelimang kenikmatan sesaat di dunia daripada berlomba-lomba habis-habisan memburu keutamaan-keutamaan di akhirat.

Puasa (shaum atau shiam) artinya –dalam bahasa Arab—menahan (al-imsak). “Menahan” ini bertingkat-tingkat. Dimulai dari menahan diri dari makan minum dan nafsu seksual; menahan segala panca indera dari berbuat dosa; sampai dengan menahan hati dan pikiran dari bersambung (connect) dengan selain Allah.

Imam al-Gazali menyebut tingkat pertama sebagai puasa awam, tingkat kedua sebagai puasa khawash (orang terpilih) dan tingkat ketiga sebagai puasa khawas al-khawas (orang terpilih dari orang terpilih).

Puasa dalam artinya yang awam tadi sudah mencukupi tuntutan agama secara formal. Asal seorang muslim balig sudah menahan diri dari makan minum dan berhubungan suami isteri dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka secara hukum syariat (fiqh), puasanya sah.

Namun belum tentu puasa macam ini mencapai tujuan disyariatkannya puasa.

Nabi memberi peringatan, betapa banyak orang yang puasa hanya mendapat lapar dan haus saja dari puasanya. Betapa banyak orang yang bangun untuk shalat malam di bulan puasa, hanya dapat ngantuk saja dari bangun malamnya.

Ini terjadi karena visi dan pemahaman terhadap tujuan puasa menguap dari yang bersangkutan.

Coba kita perhatikan fenomena yang justru bertolak belakang dari pesan tujuan puasa dalam hari-hari Ramadhan kita sebagai umat Islam. Tingkat konsumsi yang mestinya berkurang karena puasa memesankan agar pelakunya mengurangi jatah badan dari makan minum demi menyegarkan kembali ruh, justru naik di bulan puasa. Banyak orang puasa hanya memindah jatah makan di siang hari ke malam hari, bahkan dengan jumlah dan kualitas yang naik tingkat.

Bagaimanakah lagi dengan menahan panca indera dari segala perbuatan dosa selama bulan Ramadlan agar menjadi kebiasaan di sebelas bulan di luar Ramadlan. Nabi menegaskan, orang yang tidak meninggalkan kebiasaan berkata kotor selama bulan Ramadlan hanya mendapat lapar dan haus saja dari puasanya.

Di sini berlaku kaidah bahwa untuk menguji apakah ibadah seseorang berfungsi baik dan mencapai tujuannya dilakukan dengan melihat apakah interaksinya dengan orang lain berjalan dengan baik.

Dr. Ratib an-Nabulsi, ulama terkemuka Suriah, sering menyitir kaidah ini: “ibadah formal (ibadah syaairiyah) seseorang tidak diterima selama ibadah interaktif (ibadah taamuliyah)-nya tidak benar”.

Artinya: puasa seseorang tidak diterima selama ia masih suka berbohong, mengumpat, menyakiti orang lain, korupsi dan seterusnya. Shalat seseorang tidak diterima selama ia masih melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sedekah seseorang tidak diterima selama ia masih masih menyebut-nyebut, membangga-banggakannya dan menyakitkan hati yang menerima.

Jikak kita periksa Al-Qur’an, maka akan didapatkan bahwa ibadah formal (shalat, zakat, puasa, haji dan seterunya) dalam Islam selalu memiliki korelasi positif dengan interaksi yang baik dengan orang lain.

Jadi yang dituju dari ibadah, termasuk puasa dalam hal ini, bukanlah bentuk formalnya, tetapi pesan spiritualnya.

Banyak pesan spiritual puasa di Bulan Ramadlan yang semuanya mengantarkan seseorang untuk sampai ke tujuan terbesarnya tadi: Takwa.

Pesan pertama adalah puasa sebagai instrumen untuk melatih keikhlasan, kesabaran dan memagari diri dari segala kemenyimpangan dari jalan Allah. Melatih ikhlas artinya puasa semata-mata dilakukan karena Allah. Puasa adalah ibadah yang paling dekat dengan ikhlas karena sifatnya yang tidak pamer, seperti ibadah yang pelaksanaan perlu gerakan tertentu, seperti shalat atau haji. Sampai-sampai dalam hadits qudsi, Allah menggaransi bahwa balasan orang berpuasa langsung Dia yang menentukannya, tidak dengan hitungan-hitungan tertentu. Puasa dalam pesan spiritual ini juga melatih seorang muslim untuk tetap teguh di jalan Allah apapun godaan yang merayunya untuk menyimpang dari jalan Allah.

Pesan kedua adalah bulan puasa sebagai musim kebaikan. Bulan Ramadlan memang dirancang untuk menjadi bulan kebaikan. Perbuatan sunnah dihitung pahalanya sebagaimana perbuatan fardlu di bulan lain. Perbuatan fardlu dihitung sebagaimana tujuh puluh perbuatan fardlu di bulan lain. Di bulan puasa, ada lailatul qadar yang pahala kebaikan di dalamnya, sebagaimana penegasan Al-Qur’an, sama dengan pahala kebaikan seribu bulan. Bulan Ramadlan menjadi musim mereka yang memilliki kelebihan harta untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah untuk meraih pahala yang berlipat ganda.

Pesan ketiga adalah bulan puasa sebagai musim menguatkan hubungan dengan Allah melalui al-Qur’an dan shalat-shalat sunnah. Al-Qur’an adalah sarana Allah “berbicara” dengan manusia. Bulan Ramadlan menjadi musim ideal untuk memperbaharui hubungan dengan al-Qur’an melalui tadarus dan shalat tarawih. Apalagi jika tarawih, seperti di negara-negara Arab dan di sebagian tempat di negara-negara non Arab, juga dijadikan sarana untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Betapa ruginya orang yang selama Bulan Ramadlan, tidak satu kali pun dia mengkhatamkan Al-Qur’an.

Muara dari semuanya adalah menanamkan takwa dalam diri setiap pelaku puasa agar menjadi kekuatan penggerak (driving force) dalam segala aktifitasnya dalam hidup ini. Ibarat puasa sebagai madrasah, sekolah atau universitas, diharapkan setelah tamat, umat Islam tetap mengamalkan apa yang diajarkan selama masa pendidikan. Jika kelas doktoral misalnya membiasakan pesertanya untuk meneliti, menulis, berpikir analitis dan seterusnya, maka setelah tamat pun, kebiasaan tersebut tetap harus dipertahankan. Jika tidak, maka pendidikannya dalam perspektif yang lebih luas, dapat dikatakan tidak berhasil.

Itulah sebabnya, Dr. Yusuf al-Qaradawi, ketua persatuan ulama se-dunia (al-ittihad al-aalami li ulama al-muslimin), berdomisili di Qatar, sering berpesan agar kita tidak menjadi ‘abdan ramadlaniyan (menjadi hamba Allah secara sungguh-sungguh hanya pada bulan Ramadlan saja) tetapi menjadi ‘abdan rabbaniyan (menjadi hamba Allah, beribadah kepada-Nya, kapanpun dan dimanapun).

Rasulullah, Muhammad SAW, bersabda dalam salah satu hadits unggulan yang memuat pesan pokok-pokok kebaikan:

اتق الله حيثما كنت وأتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن (رواه الترمذي

Artinya: Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, iringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan menghapusnya dan bergaullah dengan orang lain dengan perilaku yang baik. (Hadits diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan status hasan atau hasan shahih).

Hadits ini jelas sekali memerintahkan kita untuk bertakwa kapanpun dan dimanapun kita berada. Dalam redaksi lain, Imam al-Gazali mendefinisikan takwa dengan: “Tuhanmu tidak pernah kehilanganmu di tempat yang diperintahkan-Nya dan tidak pernah menjumpaimu di tempat yang di larang-Nya”.

Takwa yang lengket, tidak lepas, macam inilah yang dituju oleh ibadah puasa. Kita tidak berbuat dosa karena takut kepada Allah, bukan karena takut peraturan. Kita tidak memelihara sifat iri, dengki, sombong, pemarah dan segala sifat buruk yang lain, karena Allah melarang kita untuk merawatnya. Kita menjadi pribadi yang jujur, amanah, rendah hati, dermawan dan segala sifat baik lainnya, karena memang Allah memerintahkan kita untuk menanamkannya dalam hati dan menterjemahkannya dalam perbuatan.

Jika puasa berhasil menanamkan semuanya dalam jiwa kita, maka tujuan puasa berhasil. Jika tidak atau kurang, maka puasa kita belum berhasil. Maka mumpung di awal Ramadlan, marilah kita periksa persiapan jiwa kita masing-masing untuk menjadikan tujuan puasa ini sebagai barometer kita selama menjalani ibadah di bulan Ramadlan yang penuh berkah ini.

No comments: